Copyright © Goresan Tinta Ela
Design by Dzignine
Selasa, 27 Januari 2015

Usai.

Senja tak lagi tentang kita, semua telah usai.

Ada perih yang terasa, kala tetes demi tetes air mata mulai tercipta.
Harapan tak lagi tentang bahagia, kini usai sempurna membingkai kecewa.
Ada pilu yang membiru, kala senyum tak lagi mampu menutupi luka.
Semoga kamu bahagia, siapapun pasanganmu nanti.

Maaf, jika lisanku terlalu sering mencipta lara.
Maaf, jika sindiranku terlalu sering membuatmu terluka.
Maaf, maaf, dan maaf untuk semua kurangku yang terlalu merepotkanmu.

Terimakasih untuk tujuh bulan yang membahagiakan.
Terimakasih untuk sabar yang kau asah dengan baik.
Terimakasih untuk semua yang kau beri dengan ikhlas.

Cinta kini menjumpai jawabnya.
Usai bukanlah alasan bagi air mata untuk terus tercipta.
Semoga kita, tetap menjadi pejuang meski telah menjadi aku dan kamu.

Bahagialah, Tuan.

***
Senja tak lagi indah, mendung menutupnya dengan sempurna. Hanya bentangan sawah yang tak lagi terlihat hijau, malam mulai datang. Ada gelisah yang coba ku kendalikan, meski aku tahu, aduan rasa dalam batin ini mampu meledak kapanpun alam memanggilnya. Aku diam, Mamak diam. Hanya suara mesin motor dan gesekan ban dengan krikil yang beradu menghiasi senja di kampungku.

“Mak, dia gak akan datang Februari nanti.”
“Hah? apa?”
“Fahri tak akan datang.”

Hening. Kami sama-sama diam. Perlahan  ada hangat yang menyentuh pipiku.  Mataku memanas. Cairan itu terus mengalir tanpa mampu ku hentikan. Ada gelisah yang coba ku kendalikan, berulang kali ku coba mengatur napas, berharap tangis gagal menggetarkan suaraku. Aku tak ingin mamak tahu putrinya begitu lemah saat ini. Pandangku lurus ke depan, mencoba tetap fokus. Gelap mulai ikut campur dalam perjalananku menuju toko terdekat. Membeli stok jualan mamak.

“Kenapa?” tanya mamak, pelan. Aku tahu beliau kecewa, mungkin, sangat kecewa.
“Putus, tadi siang.”

Ada cekikan yang menahan pita suaraku untuk berkata. Aku harus lebih pandai mengontrol emosiku, sekarang.

“Masalahnya apa?” mamak bertanya lagi.

Aku hanya menggeleng, tenggorokanku belum siap diajak berbicara.

“Pantas saja akhir-akhir ini HPmu jarang berbunyi, biasanya bangun tidur langsung bunyi, kaya alarm.”

Aku mencoba tersenyum. Sialnya, air mataku semakin meningkat.

“Kamu tidak menyakitinya, kan?” tanya mamak, lagi.

Aku masih diam, menaikkan kedua bahuku sebagai jawaban. Semoga mamak paham artinya.

“Kalau memang keputusan itu yang terbaik buat kalian, ya sudah. Mau bagaimana lagi. Yang terpenting adalah silaturahmi tetap terjaga. Jangan gara-gara sudah tidak pacaran trus jadi musuh.”

Kembali ku tarik napas, bersiap untuk berkata.

“Akhir-akhir ini, dia susah dihubungi. Awalnya, aku coba untuk mengerti. Mungkin dia sedang sibuk, apalagi, kemarin baru ada masalah sama usahanya. Sudah satu bulan ini dia gak ngajar, Mak. Cuti buat ngurusin bisnis batunya.”

Aku diam, mencoba mengatur napas yang mulai tak berkawan. Mamak masih diam, menunggu cerita selanjutnya.

“Aku bingung, Mak. Dia terlalu sering menyepelekan sesuatu. Bilang ini, bilang itu, bla bla bla. Dulu aku diam, aku pikir dia sudah cukup dewasa untuk merinci segala sesuatu yang harus dia lalui untuk mendapatkan apa yang dia katakan. Aku pikir, dia sudah memikirkan matang-matang dan merencanakan segala sesuatu yang dia katakan.”

Aku kembali diam. Mamak masih diam, atau mungkin beliau sedang menahan tawa mendengar putri kecilnya mampu berkata seperti itu.

“Masih pacaran saja, dia sudah sering membuat aku berpikir bahwa menikahiku adalah beban terberatnya. Dia bilang, tidak usah dipikirkan, biar aku yang memikirkannya. Tapi, satu minggu ini saja dia sudah dua kali bilang ‘sekarang aku bebaskan kamu, terserah mau bagaimana di sana’.”

Aku sudah tidak menangis, hanya kesal yang beradu dengan amarah.

“Kamu tidak berkata-kata yang membuatnya sakit hati, kan?” tanya mamak, pelan.

“Tadi pagi aku minta maaf, sudah sering menuntut ini itu. Dia bilang ingin cerita. Aku sms gak dibales, aku telfon gak diangkat. Kadang satu hari sama sekali gak ada balasan dari sms ataupun telfonku. Sudah nyaris satu mingguan lebih dia seperti itu. Paling kalau aku sms dibalesnya ‘nanti aku telfon’. Aku tunggu sampe tengah malam, dia gak telfon. Beberapa hari ini justru nomernya gak aktif, hilang katanya. Dia pakai nomer bapaknya, aku kan jadi takut kalau-kalau waktu sms yang pegang nomer itu bapaknya. Kemrin Mamak tahu kan? waktu jam satu aku telfonan, dia nginep rumah temennya itu.”

“Hmmm”
“Makannya kemarin pas Bapak tanya, besok pas dia ke sini mau gimana, aku gak jawab. Aku takut dia gak ke sini. Dia udah sering bilang mau ke sini dari bulan Oktober, sampe sekarang belum juga dia datang. Mungkin akan berbeda saat dari awal dia bilang dan menjelaskan baik-baik bahwa untuk ke sini membutuhkan persiapan yang tidak main-main. Sayangnya, dia terlalu menyepelekan segala sesuatu Mak. Bahkan komunikasi saja dia sepelekan.”

Aku diam, mencoba mengatur napas kembali. Tak lagi tahu harus menangis atau marah. Kecewa membuatku kacau.

“Ini udah putus yang entah ke berapa kalinya. Capek Mak pacaran putus nyambung, Win aja udah mau nikah, masa iya aku masih asik main pacar-pacaran.”

Mamak mendengus.

“Mungkin aku yang terlalu kekanak-kanakan, atau dia yang belum siap memimpin seorang wanita. Aku harus belajar dewasa, semoga dia juga belajar bagaimana memimpin dirinya, biar saat punya istri nanti, tidak mudah berjanji dan berkata. Dia butuh belajar bahwa apa yang harus dia ucapkan haruslah dipikirkan terlebih dahulu. Biar gak ngecewain banyak orang kaya sekarang. Aku bingung ngomong ke Simbok sama Bapaknya gimana Mak.”

Aku diam, ada kesal yang beradu dengan sabar. Mamak diam, entah apa yang beliau pikirkan sekarang. Rencana bulan Februari nanti, harapan semua orang. Ah. Sudahlah. Sesekali menangis tak akan jadi masalah. Mataku tertuju pada kantong plastik berisi kebaya. Dalam hati riuh mendesis ngilu. Sekarang bukan waktu yang tepat, Tuhan lebih tahu kapan pernikahan akan menjadi indah bagiku, keluargaku dan pasanganku. Tuhan jauh lebih tahu, apa yang terbaik bagiku. Semoga kita, tetap menjadi pejuang meski telah menjadi aku dan kamu. Bahagialah, Tuan.




Purworejo, 27 Januari 2015
Ela Sri Handayaningsih

0 komentar:

Posting Komentar