Copyright © Goresan Tinta Ela
Design by Dzignine
Kamis, 18 Desember 2014

The Wolf Woman



Gertakku tak lantas membuatmu kembali, dalam gelap yang pekat kau lelap terlalu dini. Bangun kesatria, bangunlah!!!

"Pergilah!" katamu lembut.

Dengan darah yang melumuri tubuhku, kaki membawaku pergi jauh dari jasadmu. Langkah demi langkah membawa tubuhku menjauh dari mereka. Sial. Semakin aku berusaha semakin energiku habis. Aku tak lagi mampu berubah menjadi sosok Srigalaku. Sementara ini itu bukanlah hal penting, ada hal lain yang harus ku perjuangkan, aku harus tetap hidup untuk membebaskan Putraku, Exel.

Nyeri bibir kala taringku tak sengaja mengenai lukanya tak lagi menjadi sakitku. Tubuh tanpa jiwa milik Jacson tak lagi harus ku tangisi, meski air mataku belum tuntas mengaliri duka atas kematiannya. Manusia hanyalah makhluk mengerikan selama mereka masih haus akan gelimangnya dunia. Apapun yang mereka usahakan, aku tak akan berhenti melindungi bangsaku. Mereka yang tersisa memiliki hak untuk hidup. Kami harus memiliki keturunan. Karena kami adalah penyeimbang. Manusia tanpa kami hanyalah sampah. Hewan tanpa kami adalah mainan. Kami adalah kelompok terakhir, manusia memanggil kami dengan sebutan Sang Pemangsa. Mereka tak pernah sadar betapa kesalnya kami atas panggilan keji itu.

Tanganku menarik beberapa dahan kering, melekatkan pada tubuhku dengan darah sebagai perekatnya. Sesekali aku meringis perih ketika dahan itu menyentuh luka di beberapa bagian tubuhku. Luka karena keserakahan manusia. Biadab.

Jantungku masih berdetak, air mata belum kering dari pipiku. Darah-darah amis itu melekat pada kulitku. Sampai kapanpun, Gio bersaudara tak akan ku lepaskan. Mereka hanya punya dua pilihan, menyerahkan Putraku atau semua anak buah mereka lenyap dari dunia ini.

Exel bukan Srigala lemah, meski mereka mengurungnya dalam jeruji dengan cairan terin sebagai pelapisnya, otak Putraku tak sebatas insting hewan. Ada kecerdasan leluhur kami yang menurun pada akal Putraku. Ada kecerdasan yang beradu dengan ganasnya darah Srigala. Ada nurani pencipta kami yang melekat pada jiwanya. Dan tentu saja, ada aku yang tak akan pernah membiarkan Gio juga antek-anteknya melukai Putraku. Tidak akan pernah.

Perlahan ku sandarkan tubuh penuh luka ini pada salah satu pohon di Hutan Mlanding ini. Sesekali bayangan Jacson menyergap bagai luka paling pilu. Kematiannya bukanlah hal yang harus terus ku tangisi, tetapi caranya mati adalah hal paling kejam yang tak mungkin ku lupakan. Dari mana para Gio mendapatkan ramuan untuk menciptakan cairan terin?

Penelitian Gio bersaudara tak boleh diketahui publik. Kami hidup bukan untuk diketahui oleh manusia. Kami hidup sebagai penyeimbang antara bangsa manusia dan bangsa srigala. Kami adalah manusia saat pagi datang. Sebaliknya, srigala adalah sosok kami saat matahari tenggelam. Harus seperti itu, tak bisa seperti ini. Bagaimana caraku untuk melenyapkan fungsi cairan terin pada bangsa kami? Bagaimana jika Gio bersaudara bersama kelompoknya menemukan tempat tinggal kami? Aku harus segera bergegas.

Agrrhh. Sial, luka di kaki kiriku nyaris melumpuhkan syaraf kakiku. Gio bersaudara jelas-jelas menambahkan ramuan baru pada cairan biadab itu. Cairan itu tak seganas ini sebelumnya. Cairan itu hanya mampu membuat kami kesakitan dan tak sadar. Ada hal lain yang membuat cairan itu mampu membakar dan mematikan sistem syaraf kami. Biadab!!! 

Suara senapan?

Ternyata mereka masih mengejarku.

Dalam riuh langkah kaki para monster biadap itu, jantungku berdetak luar biasa. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ku miliki, ku peluk kedua kakiku, berharap akar pohon ini mampu menyembunyikan wujud manusiaku. Berikan aku keajaiban, Tuhan.

Rasa nyeri pada bagian betis dan pergelangan kaki, rasa sakit luar biasa yang menjalar dari luka akibat cairan terin itu membuat tubuhku semakin lemah. Oh tidak, ada seseorang menuju tempat ini. Jangan biarkan aku tertangkap, Tuhan.

“Ada bau darah persilangan di dekat sini, aku yakin dia ada di sini.” 

Suara itu, langkah kaki itu semakin dekat. Kringat dan darahku mengucur semakin deras. Mataku tak lagi sanggup terbuka, lemas. Jikapun aku tertangkap, jangan biarkan mereka mendaptkan otak dan darahku, Tuhan.

“Gibran, dia di sini.”

Seorang lelaki berteriak diikuti puluhan langkah kaki yang menuju ke arahku. Apapun yang terjadi, aku harus siap.

Gelap.
 

Bersambung...


Yogyakarta, 18 Desember 2014
Ela Sri Handayaningsih
Minggu, 07 Desember 2014

Puisi



Kau, seberkas fajar yang berdansa dengan pagi.
Lihatlah, aku serupa embun yang menantimu dengan riang.

Mungkin, aku tak lain sekuntum mawar yang menyembunyikan indahnya dalam duri.
Mengendap-endap kala cahayamu mulai mengintip. Mempesona.

Bisa jadi, aku adalah senja yang menantimu rebah. Melukiskan indahmu dengan kuas penuh cinta. Menenangkan.

Kemarin, lisanku masih setia menyulam kisah dengan hati penuh debar. Berharap cahayamu mampu hangatkan batinku yang beku oleh malam.

Hari ini, jemariku kembali memintal cerita dengan air mata. 
Sayang, telingamu tak setangguh kemarin. Hatimu bukanlah ladang yang lapang. Tak lagi ada tenang, hanya lara yang menyisakan luka.

Barang kali, aku adalah Cinderella yang tak sempat kau temukan. Haruskah aku bilang selamat tinggal kala bait demi bait sajakku tak jua mampu kau pahami?




Yogyakarta, 7 Desember 2014.
Ela Sri Handayaningsih

Tuan.



Apalah aku ini tanpamu, Tuan.
Seonggok daging penuh keluh tanpa indah dalam lisan yang menghiasinya.
Wanita dengan kristal embun pada matanya.
Makhluk lemah penuh drama dan air mata.

Apalah aku ini tanpamu, Tuan.
Manusia penuh juang demi tawa pembalut luka.
Barang kali, aku adalah bahagia yang melata dalam sandiwara.
Mencoba menjunjung sabar demi tulus yang mengikatnya.

Apalah aku ini tanpamu, Tuan.
Kemunafikan yang terkuak dalam sajak tentang kita.
Kebodohan yang tak kunjung menemui pandai.
Kelemahan yang mengerak dalam wadah yang kuat.

Apalah aku ini tanpamu, Tuan.
Sebuah ucapan selamat pagi yang tak pernah tahu kemana harus berlabuh.
Kumpulan kisah yang terkubur dalam bahagia yang semu.
Lembaran puisi tanpa makna yang terbuang begitu saja.






Yogyakarta, 8 Desember 2014
Ela Sri Handayaningsih