Malam
itu, setelah acara makan malam selesai, rutinitas yang selalu kutunggu dimulai.
Aku membereskan meja makan sebelum bergabung dengan keluarga kecilku di ruang
tengah.
“Ayah,
dulu Ayah pacaran berapa kali?” telingaku mendengar Si Kecil Kumala melontarkan
pertanyaan, membuatku sedikit kaget. Pertanyaan seperti itu belum
semestinya keluar dari mulut putriku yang masih berumur 9 tahun.
“Hah?
Pacaran ya, hmmmm tanya Kak Rizqon coba.” aku tersenyum tipis, aku tahu suamiku
masih memikirkan taktik yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mala.
“Kak
Rizqon pasti gak punya pacar, Yah.Rrambutnya aja kribo, temen-temen Mala aja gak
suka cowok berambut kribo. Jelek, Yah.” cletuk Mala membuatku menggigit bibir,
semoga bujangku tidak memasukan clotehan adik perempuannya itu ke dalam hati. Segera aku
menuju ruang tengah yang hanya tujuh langkah dari tempatku berdiri.
“Mala
sayang gak boleh ngomong gitu ah, siapa yang bilang kribo jelek? Buktinya Kak Rizqon
cakep gituh. Iya kan yah?” kataku sambil mencubit perut suamiku yang masih
tertawa kecil.
“Iya
dong, jagoan Ayah keren, mirip Ayah waktu muda dulu. Iya kan, Bun?” ledek suamiku
serambi memasukan tempe goreng ke dalam mulutnya. Aku hanya mengangguk dan
memalingkan pandangan pada anak tertuaku. Tidak biasanya dia menjadi pendiam
begini, penampilannya juga beda, dia terlihat seperti akan berpergian dengan orang spesial. Sejenis kencan, mungkin.
Aku membiarkan Mala berbincang dengan ayahnya dan mendatangi bujangku yang duduk di sofa.
Aku membiarkan Mala berbincang dengan ayahnya dan mendatangi bujangku yang duduk di sofa.
“Kakak
mau kemana? Ada acara di sekolah atau ada teman ulang tahun?”
“Eh
Bun, ehmm itu anu aku mau ke sana hmm Kedai Ngapak.”
“Oh
barengan aja kalo gituh, lama juga kan kita gak keluar bareng. Ya kali aja
ketemu Om Fahri.”
“Jangan
!!!”
“Lo
kenapa?”
“Gini
Bun, aku ada rapat osis juga di sana, bahas acara three on three, pertandingan
basket antar SMA Bun. Kan gak enak, hehe” kata Rizqon sambil memasukan cemilan
ke mulutnya. Oh Tuhan, kasihan sekali anak lelakiku ini, dia tidak pandai dalam
berbohong. Lihat wajahnya, terlihat gugup sekali.
“Oke
deh sayang, nanti ayah, bunda sama Mala masuknya belakangan. Kita gak akan
ganggu kamu kok, cuma pingin main ke sana aja. Kan Ayah sama Bunda kangen masa-masa
pacaran dulu. Ehem.” aku buru-buru pergi sebelum anak kesayanganku itu
memberikan bantahan lagi.
“Ayah
dan Mala, malam ini kita berkunjung ke Kedainya Om Fahri. Ayooo siap-siap,
kita bersenang-senang.” kataku sambil memandang ke tempat Rizqon
duduk. Geli sekali ya ngerjain anak sendiri, mukanya pucat.
Tadinya
suamiku menolak pergi, dia tidak suka sifat posesifku. Sebenarnya aku bukannya
posesif, hanya saja aku ingin semua anak-anakku terbuka. Sebagai Ibu, aku tidak
ingin ketinggalan satu tahap saja perkembangan anak-anakku. Termasuk lika-liku
pergaulan anak baru gede-ku itu. Atau bisa dibilang aku posesif, aku hanya
ingin melindungi anak-anakku dari pergaulan yang terlalu bebas. Ah atau mungkin
juga aku belum siap jika anak laki-lakiku itu membagi kasih sayangnya untuk
perempuan lain.
Membayangkan
dia akan sering makan di luar bersama pacarnya dan melupakan masakan-masakanku.
Dia akan jarang berkumpul bersama keluarganya karena pacarnya menuntut
perhatian lebih padanya. OH NO !!! Aku belum siap, walaupun aku tau itu pasti
akan terjadi, sekarang ataupun nanti.
“Rizqon
diem mulu, sariawan atau kebelet pipis? Kita bisa turun di pom dulu kok sayang.” kataku sok serius.
“Kak
Rizqon kesambet hantu sekolahannya kali Bun, temen Mala ada yang kesambet setan
di sekolah jadi pendiam. Ya begini, kaya Kakak.” putiku menyambar, Rizqon
segera menggelitiki adiknya sampai meminta ampun padanya.
“Sudah
Kak, kasihan Adek.” kataku
Ada
yang aneh dengan suamiku, dia lebih banyak diam. Ada apa ya?
Akhirnya
kami sampai di Kedai Ngapak. Masih seperti dulu, hanya saja dekorasinya sedikit
di ubah, menyesuaikan dengan gaya anak jaman sekarang. Segera kugandeng
putri dan suamiku. Kami masuk lebih dulu, Rizqon menunggu seseorang katanya. Mungkin
itu pacar barunya, fikirku.
Kami
telah memesan makanan dan mendengarkan cerita-cerita Mala yang tadi
belum selesai dia ceritakan.
“Mala
ditembak sama tiga cowok di sekolah Bun, satu kakak kelas yang 2 anak kelas 3
tapi beda kelas. Mala bingung.”
Aku
dan suamiku bertukar tatap, sepertinya dia berfikir hal yang sama
sepertiku.
“Nama
kakak kelas itu Sae, nah anak kelas B namanya Alex dan anak samping kelas
Mala, kelas D namanya Angga. Mala suka Kak Sae, dia baik suka kasih Mala minum
habis Mala olah raga. Kalau Alex dia juara kelas Bun, Yah. Tapi Mala lebih suka
Angga, dia cakep, banyak temen-temen Mala yang suka dia. Pokoknya dia idola
dech.”
Oh
Tuhan, mimpi apa aku? Putri kecilku bercerita panjang lebar tentang lelaki. Tidak
tidak, belum saatnya, ini terlalu dini.
Aku sengaja menginjak kaki suamiku sampai dia sedikit teriak.
Aku sengaja menginjak kaki suamiku sampai dia sedikit teriak.
“Eh
Mala emang mau pacaran? Ntar jadi jelek kaya teteh itu loo” kata suamiku sambil
menunjuk sepasang kekasih, aku hampir saja tertawa.
“Ih
Yah, kok tetehnya lebih gendut dari Bunda? Mala gak mau gendut gitu ah.”
Oh
Tidak, anakku terlalu kritis.
“Hahaha
tetehnya gendut gara-gara pacaran. Kan kalo pacaran bakal di suruh makan terus
sama pacarnya. Di ajakin makan di mana-mana. Gendut dech.”
“Mala
gak mau pacaran, titik.”
Lega,
Sigit Dwi Darmawan, kau memang suami dan ayah terhebat. Sedang asik-asiknya
kami mengobrol, akhirnya pesanan datang. Tidak lama setelah itu Rizqon datang
bersama seorang wanita. Aku nyaris tersedak sushi yang baru saja masuk ke
mulut.
“Hai
Dwi, lama tidak bertemu. Hai Handa…”
Hesti
Oktri Lestari, mantan kekasih Sigit sebelum akhirnya dia bertemu denganku. Ada apa
ini? kenapa dia bersama Rizqon? Aku tidak berharap akan ada kejutan lain yang
lebih ekstrim dari ini.
Bersambung…