Senja
tak lagi tentang kita, semua telah usai.
Ada
perih yang terasa, kala tetes demi tetes air mata mulai tercipta.
Harapan
tak lagi tentang bahagia, kini usai sempurna membingkai kecewa.
Ada
pilu yang membiru, kala senyum tak lagi mampu menutupi luka.
Semoga
kamu bahagia, siapapun pasanganmu nanti.
Maaf,
jika lisanku terlalu sering mencipta lara.
Maaf,
jika sindiranku terlalu sering membuatmu terluka.
Maaf,
maaf, dan maaf untuk semua kurangku yang terlalu merepotkanmu.
Terimakasih
untuk tujuh bulan yang membahagiakan.
Terimakasih
untuk sabar yang kau asah dengan baik.
Terimakasih
untuk semua yang kau beri dengan ikhlas.
Cinta
kini menjumpai jawabnya.
Usai
bukanlah alasan bagi air mata untuk terus tercipta.
Semoga
kita, tetap menjadi pejuang meski telah menjadi aku dan kamu.
Bahagialah,
Tuan.
***
Senja
tak lagi indah, mendung menutupnya dengan sempurna. Hanya bentangan sawah yang
tak lagi terlihat hijau, malam mulai datang. Ada gelisah yang coba ku
kendalikan, meski aku tahu, aduan rasa dalam batin ini mampu meledak kapanpun
alam memanggilnya. Aku diam, Mamak diam. Hanya suara mesin motor dan gesekan
ban dengan krikil yang beradu menghiasi senja di kampungku.
“Mak,
dia gak akan datang Februari nanti.”
“Hah?
apa?”
“Fahri
tak akan datang.”
Hening.
Kami sama-sama diam. Perlahan ada hangat
yang menyentuh pipiku. Mataku memanas.
Cairan itu terus mengalir tanpa mampu ku hentikan. Ada gelisah yang coba ku
kendalikan, berulang kali ku coba mengatur napas, berharap tangis gagal
menggetarkan suaraku. Aku tak ingin mamak tahu putrinya begitu lemah saat ini. Pandangku
lurus ke depan, mencoba tetap fokus. Gelap mulai ikut campur dalam perjalananku
menuju toko terdekat. Membeli stok jualan mamak.
“Kenapa?”
tanya mamak, pelan. Aku tahu beliau kecewa, mungkin, sangat kecewa.
“Putus,
tadi siang.”
Ada
cekikan yang menahan pita suaraku untuk berkata. Aku harus lebih pandai
mengontrol emosiku, sekarang.
“Masalahnya
apa?” mamak bertanya lagi.
Aku
hanya menggeleng, tenggorokanku belum siap diajak berbicara.
“Pantas
saja akhir-akhir ini HPmu jarang berbunyi, biasanya bangun tidur langsung
bunyi, kaya alarm.”
Aku
mencoba tersenyum. Sialnya, air mataku semakin meningkat.
“Kamu
tidak menyakitinya, kan?” tanya mamak, lagi.
Aku
masih diam, menaikkan kedua bahuku sebagai jawaban. Semoga mamak paham artinya.
“Kalau
memang keputusan itu yang terbaik buat kalian, ya sudah. Mau bagaimana lagi.
Yang terpenting adalah silaturahmi tetap terjaga. Jangan gara-gara sudah tidak
pacaran trus jadi musuh.”
Kembali
ku tarik napas, bersiap untuk berkata.
“Akhir-akhir
ini, dia susah dihubungi. Awalnya, aku coba untuk mengerti. Mungkin dia sedang
sibuk, apalagi, kemarin baru ada masalah sama usahanya. Sudah satu bulan ini
dia gak ngajar, Mak. Cuti buat ngurusin bisnis batunya.”
Aku
diam, mencoba mengatur napas yang mulai tak berkawan. Mamak masih diam,
menunggu cerita selanjutnya.
“Aku
bingung, Mak. Dia terlalu sering menyepelekan sesuatu. Bilang ini, bilang itu,
bla bla bla. Dulu aku diam, aku pikir dia sudah cukup dewasa untuk merinci
segala sesuatu yang harus dia lalui untuk mendapatkan apa yang dia katakan. Aku
pikir, dia sudah memikirkan matang-matang dan merencanakan segala sesuatu yang
dia katakan.”
Aku
kembali diam. Mamak masih diam, atau mungkin beliau sedang menahan tawa
mendengar putri kecilnya mampu berkata seperti itu.
“Masih
pacaran saja, dia sudah sering membuat aku berpikir bahwa menikahiku adalah
beban terberatnya. Dia bilang, tidak usah dipikirkan, biar aku yang
memikirkannya. Tapi, satu minggu ini saja dia sudah dua kali bilang ‘sekarang
aku bebaskan kamu, terserah mau bagaimana di sana’.”
Aku
sudah tidak menangis, hanya kesal yang beradu dengan amarah.
“Kamu
tidak berkata-kata yang membuatnya sakit hati, kan?” tanya mamak, pelan.
“Tadi
pagi aku minta maaf, sudah sering menuntut ini itu. Dia bilang ingin cerita.
Aku sms gak dibales, aku telfon gak diangkat. Kadang satu hari sama sekali gak
ada balasan dari sms ataupun telfonku. Sudah nyaris satu mingguan lebih dia
seperti itu. Paling kalau aku sms dibalesnya ‘nanti aku telfon’. Aku tunggu
sampe tengah malam, dia gak telfon. Beberapa hari ini justru nomernya gak
aktif, hilang katanya. Dia pakai nomer bapaknya, aku kan jadi takut kalau-kalau
waktu sms yang pegang nomer itu bapaknya. Kemrin Mamak tahu kan? waktu jam satu
aku telfonan, dia nginep rumah temennya itu.”
“Hmmm”
“Makannya
kemarin pas Bapak tanya, besok pas dia ke sini mau gimana, aku gak jawab. Aku
takut dia gak ke sini. Dia udah sering bilang mau ke sini dari bulan Oktober,
sampe sekarang belum juga dia datang. Mungkin akan berbeda saat dari awal dia
bilang dan menjelaskan baik-baik bahwa untuk ke sini membutuhkan persiapan yang
tidak main-main. Sayangnya, dia terlalu menyepelekan segala sesuatu Mak. Bahkan
komunikasi saja dia sepelekan.”
Aku
diam, mencoba mengatur napas kembali. Tak lagi tahu harus menangis atau marah.
Kecewa membuatku kacau.
“Ini
udah putus yang entah ke berapa kalinya. Capek Mak pacaran putus nyambung, Win
aja udah mau nikah, masa iya aku masih asik main pacar-pacaran.”
Mamak
mendengus.
“Mungkin
aku yang terlalu kekanak-kanakan, atau dia yang belum siap memimpin seorang wanita.
Aku harus belajar dewasa, semoga dia juga belajar bagaimana memimpin dirinya,
biar saat punya istri nanti, tidak mudah berjanji dan berkata. Dia butuh belajar
bahwa apa yang harus dia ucapkan haruslah dipikirkan terlebih dahulu. Biar gak
ngecewain banyak orang kaya sekarang. Aku bingung ngomong ke Simbok sama Bapaknya
gimana Mak.”
Aku
diam, ada kesal yang beradu dengan sabar. Mamak diam, entah apa yang beliau pikirkan
sekarang. Rencana bulan Februari nanti, harapan semua orang. Ah. Sudahlah.
Sesekali menangis tak akan jadi masalah. Mataku tertuju pada kantong plastik
berisi kebaya. Dalam hati riuh mendesis ngilu. Sekarang bukan waktu yang tepat,
Tuhan lebih tahu kapan pernikahan akan menjadi indah bagiku, keluargaku dan
pasanganku. Tuhan jauh lebih tahu, apa yang terbaik bagiku. Semoga kita, tetap
menjadi pejuang meski telah menjadi aku dan kamu. Bahagialah, Tuan.
Purworejo,
27 Januari 2015
Ela
Sri Handayaningsih