Cinta pertama, begitu mereka menyebutnya. Sejenis datang
bulan untuk pertama kalinya. Beberapa ada yang menangis kesakitan, sisanya
tertawa bahagia karena akhirnya mereka tahu bahwa mereka normal.
Tidak begitu bagiku. Cinta adalah sesuatu yang abstrak
sebelum aku mengenal Banu. Seorang lelaki yang tergabung dalam pasukan pengibar
bendera di sekolahku itu. Sebenarnya, dia tidak terlalu tampan. Hanya saja, setiap
senyumnya tertuju padaku, seperti ada malu yang -bahkan- malu-malu untuk
menampakkan dirinya. Beberapa temanku menyebut perasaan ini dengan, cinta.
Cinta pertama.
Pagi
itu sama seperti pagi yang lain, sarapan sehat ala mamah, obrolan santai di
meja makan dengan papah yang selalu menyenangkan, dan beberapa aturan baru yang
harus aku taati mengingat hari ini aku resmi jadi siswa SMA.
Pagi
itu memang sama seperti pagi yang lain, hanya saja, seseorang membuat pagi itu
menjadi cukup istimewa dibandingkan pagi-pagi yang sudah kulewati. Ya, orang
itu adalah seseorang yang membuat Putri tak lagi betah dipanggil dengan nama
Putra.
“Kalau
sampai di SMA ini pun kamu tidak menemukan cinta, berarti kamu gak normal, Put.”
Tiwi
berulang kali mengatakan hal tentang cinta, cinta, dan cinta, membuat mataku
semakin mengantuk. Senior galak yang berdiri di depan semua siswa baru dan sedang
asik ceramah tentang aturan MOS itu tidak lantas membuatku enggan tertidur.
Sampai akhirnya, seorang anak laki-laki mendapat hukuman atas keberaniannya
mendahului kekonyolanku. Dia berada di barisan depan dan tertidur dengan sangat
pulas!
Senior
gendut itu menghukumnya, menyuruhnya menyanyikan lagu balonku ada lima dengan
mengganti semua huruf vokal menjadi o. Dan, ya, untuk pertama kalinya kantuk
gagal aku terima menjadi kekasih.
“Kamu!
Maju ke depan!”
Mampus!
Senior cewek dengan tampang mirip Dian Sastro versi judes berhasil membuatku
menelan ludah berkali-kali.
“Ta
tapi, kak…”
Bahkan
saat kalimatku belum selesai terucap, senior cantik itu membentak dengan mata
yang sengaja dia besar-besarkan. Nyaris membuat wajah cantiknya berubah menjadi
Mr. Bean versi feminim. Aiys, menyebalkan.
Aku
dan Banu berdiri di depan ratusan anak baru di SMA Pelita Nusantara. Nyaris
mirip boneka yang bebas dimainkan oleh senior, kemudian dengan bangga mereka pamerkan
ke anak-anak baru itu, membuat satu per satu dari mereka terbahak.
Aku
sedang menarik napas panjang saat Banu menyenggol sikuku. Membuatku nyaris
menyikut lengannya dengan kuat.
“Kenapa
kau dihukum?” tanya Banu.
“Kamu
gak lihat kaos kakiku beda warna?” jawabku kesal.
Banu
menutup mulutnya, tertawa, membuat mukannya memerah. Tubuhku mematung untuk
beberapa detik. Lelaki itu, benar-benar lucu saat tersenyum. Bibirnya yang
tipis, dagunya yang tegas, dan ah, dia membuatku kehilangan konsentrasi cukup
lama. Sampai akhirnya senior menambah hukuman untukku saat melihat kaki kiriku
yang seharusnya terangkat telah aku turunkan dan kedua tanganku yang tidak lagi
menjewer kedua telingaku.
Pertemuan
pertama yang menyebalkan. Dan, ya, entah mengapa tragedi itu justru membuat
malamku terjaga oleh ingatan tentang MOS hari pertama itu. Membuatku tersenyum
malu-malu saat wajah penuh tawa itu memenuhi otakku. Membuat dadaku berdebar
hebat, jantungku berdetak kencang, dan hati dipenuhi rasa tak sabar menunggu
hari esok.
Apa
ini yang Tiwi sebut dengan cinta?
Cerita
dari perwakilan #TimCintaPertama di online festival #LoveCycle Gagas Media.
Simak
kelanjutan ceritanya di http://vancapella.tumblr.com/ oleh Alya Nurfakhira Zahra.