Copyright © Goresan Tinta Ela
Design by Dzignine
Jumat, 06 Desember 2013

Suamiku adalah Ayah dari anakku.





Malam itu, setelah acara makan malam selesai, rutinitas yang selalu kutunggu dimulai. Aku membereskan meja makan sebelum bergabung dengan keluarga kecilku di ruang tengah.
“Ayah, dulu Ayah pacaran berapa kali?” telingaku mendengar Si Kecil Kumala melontarkan pertanyaan, membuatku sedikit kaget. Pertanyaan seperti itu belum semestinya keluar dari mulut putriku yang masih berumur 9 tahun.
“Hah? Pacaran ya, hmmmm tanya Kak Rizqon coba.” aku tersenyum tipis, aku tahu suamiku masih memikirkan taktik yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mala.
“Kak Rizqon pasti gak punya pacar, Yah.Rrambutnya aja kribo, temen-temen Mala aja gak suka cowok berambut kribo. Jelek, Yah.” cletuk Mala membuatku menggigit bibir, semoga bujangku tidak memasukan clotehan adik perempuannya itu ke dalam hati. Segera aku menuju ruang tengah yang hanya tujuh langkah dari tempatku berdiri.
“Mala sayang gak boleh ngomong gitu ah, siapa yang bilang kribo jelek? Buktinya Kak Rizqon cakep gituh. Iya kan yah?” kataku sambil mencubit perut suamiku yang masih tertawa kecil.
“Iya dong, jagoan Ayah keren, mirip Ayah waktu muda dulu. Iya kan, Bun?” ledek suamiku serambi memasukan tempe goreng ke dalam mulutnya. Aku hanya mengangguk dan memalingkan pandangan pada anak tertuaku. Tidak biasanya dia menjadi pendiam begini, penampilannya juga beda, dia terlihat seperti akan berpergian dengan orang spesial. Sejenis kencan, mungkin. 

Aku membiarkan Mala berbincang dengan ayahnya dan mendatangi bujangku yang duduk di sofa.
“Kakak mau kemana? Ada acara di sekolah atau ada teman ulang tahun?”
“Eh Bun, ehmm itu anu aku mau ke sana hmm Kedai Ngapak.”
“Oh barengan aja kalo gituh, lama juga kan kita gak keluar bareng. Ya kali aja ketemu Om Fahri.” 
“Jangan !!!”
“Lo kenapa?”
“Gini Bun, aku ada rapat osis juga di sana, bahas acara three on three, pertandingan basket antar SMA Bun. Kan gak enak, hehe” kata Rizqon sambil memasukan cemilan ke mulutnya. Oh Tuhan, kasihan sekali anak lelakiku ini, dia tidak pandai dalam berbohong. Lihat wajahnya, terlihat gugup sekali.
“Oke deh sayang, nanti ayah, bunda sama Mala masuknya belakangan. Kita gak akan ganggu kamu kok, cuma pingin main ke sana aja. Kan Ayah sama Bunda kangen masa-masa pacaran dulu. Ehem.” aku buru-buru pergi sebelum anak kesayanganku itu memberikan bantahan lagi.
“Ayah dan Mala, malam ini kita berkunjung ke Kedainya Om Fahri. Ayooo siap-siap, kita bersenang-senang.” kataku sambil memandang ke tempat Rizqon duduk. Geli sekali ya ngerjain anak sendiri, mukanya pucat.
Tadinya suamiku menolak pergi, dia tidak suka sifat posesifku. Sebenarnya aku bukannya posesif, hanya saja aku ingin semua anak-anakku terbuka. Sebagai Ibu, aku tidak ingin ketinggalan satu tahap saja perkembangan anak-anakku. Termasuk lika-liku pergaulan anak baru gede-ku itu. Atau bisa dibilang aku posesif, aku hanya ingin melindungi anak-anakku dari pergaulan yang terlalu bebas. Ah atau mungkin juga aku belum siap jika anak laki-lakiku itu membagi kasih sayangnya untuk perempuan lain. 
Membayangkan dia akan sering makan di luar bersama pacarnya dan melupakan masakan-masakanku. Dia akan jarang berkumpul bersama keluarganya karena pacarnya menuntut perhatian lebih padanya. OH NO !!! Aku belum siap, walaupun aku tau itu pasti akan terjadi, sekarang ataupun nanti.
“Rizqon diem mulu, sariawan atau kebelet pipis? Kita bisa turun di pom dulu kok sayang.” kataku sok serius.
“Kak Rizqon kesambet hantu sekolahannya kali Bun, temen Mala ada yang kesambet setan di sekolah jadi pendiam. Ya begini, kaya Kakak.” putiku menyambar, Rizqon segera menggelitiki adiknya sampai meminta ampun padanya.
“Sudah Kak, kasihan Adek.” kataku
Ada yang aneh dengan suamiku, dia lebih banyak diam. Ada apa ya?
Akhirnya kami sampai di Kedai Ngapak. Masih seperti dulu, hanya saja dekorasinya sedikit di ubah, menyesuaikan dengan gaya anak jaman sekarang. Segera kugandeng putri dan suamiku. Kami masuk lebih dulu, Rizqon menunggu seseorang katanya. Mungkin itu pacar barunya, fikirku.
Kami telah memesan makanan dan mendengarkan cerita-cerita Mala yang tadi belum selesai dia ceritakan.
“Mala ditembak sama tiga cowok di sekolah Bun, satu kakak kelas yang 2 anak kelas 3 tapi beda kelas. Mala bingung.”
Aku dan suamiku bertukar tatap, sepertinya dia berfikir hal yang sama sepertiku. 
“Nama kakak kelas itu Sae, nah anak kelas B namanya Alex dan anak samping kelas Mala, kelas D namanya Angga. Mala suka Kak Sae, dia baik suka kasih Mala minum habis Mala olah raga. Kalau Alex dia juara kelas Bun, Yah. Tapi Mala lebih suka Angga, dia cakep, banyak temen-temen Mala yang suka dia. Pokoknya dia idola dech.”
Oh Tuhan, mimpi apa aku? Putri kecilku bercerita panjang lebar tentang lelaki. Tidak tidak, belum saatnya, ini terlalu dini. 

Aku sengaja menginjak kaki suamiku sampai dia sedikit teriak.
“Eh Mala emang mau pacaran? Ntar jadi jelek kaya teteh itu loo” kata suamiku sambil menunjuk sepasang kekasih, aku hampir saja tertawa. 
“Ih Yah, kok tetehnya lebih gendut dari Bunda? Mala gak mau gendut gitu ah.”
Oh Tidak, anakku terlalu kritis.
“Hahaha tetehnya gendut gara-gara pacaran. Kan kalo pacaran bakal di suruh makan terus sama pacarnya. Di ajakin makan di mana-mana. Gendut dech.”
“Mala gak mau pacaran, titik.”
Lega, Sigit Dwi Darmawan, kau memang suami dan ayah terhebat. Sedang asik-asiknya kami mengobrol, akhirnya pesanan datang. Tidak lama setelah itu Rizqon datang bersama seorang wanita. Aku nyaris tersedak sushi yang baru saja masuk ke mulut.
“Hai Dwi, lama tidak bertemu. Hai Handa…”
Hesti Oktri Lestari, mantan kekasih Sigit sebelum akhirnya dia bertemu denganku. Ada apa ini? kenapa dia bersama Rizqon? Aku tidak berharap akan ada kejutan lain yang lebih ekstrim dari ini.

Bersambung…