Copyright © Goresan Tinta Ela
Design by Dzignine
Senin, 01 Oktober 2018

Bencana Alam dan Nyinyiran Netizen.


            Semoga semua korban jiwa akibat bencana alam yang menimpa Indonesia akhir-akhir ini, mendapatkan kedamaian dalam tidur panjang mereka, diterima amal ibadahnya dan dimaafkan dosa-dosanya.

            Kepada seluruh korban bencana alam di Lombok, Sumbawa, Palu, Donggala, maupun daerah lain, semoga diberikan ketabahan dan kekuatan untuk menghadapi semua ini. 

Kepada pemerintah, donatur dan semua relawan yang bergerak langsung membantu korban di lokasi bencana, kalian hebat! Semoga segala lelah kalian demi kemanusiaan dibalas dengan hadiah-hadiah terbaik dari Tuhan.



Alam sedang bergejolak, belum tuntas duka Indonesia atas apa yang terjadi di Lombok, Sumbawa dan sekitarnya, sekarang Palu dan Donggala. Saya kira bukan hanya masyarakat Indonesia, seluruh manusia yang menyaksikan tragedi dengan korban tidak sedikit ini, pasti terluka hatinya. Melihat satu nyawa melayang saja, rasanya sedih luar biasa, apalagi puluhan, ratusan, bahkan ribuan?

Indonesia berduka, bahkan warga negara lain pun ikut mengirimkan doa dan mengucapkan simpati mereka melalui status-status di media sosial. Tagar-tagar yang menunjukkan simpati warga dunia menjadi trending topic di Twitter beberapa hari ini, tanda bahwa banyak orang ikut berduka atas apa yang dialami masyarakat di lokasi bencana, tanda bahwa banyak orang peduli. Seharusnya begitu.

Sempat saya membuka hashtag berupa doa bagi daerah yang terkena bencana dan membaca beberapa postingan di sana, antara bahagia dan kesal bercampur menjadi satu. Bagaimana mungkin tidak kesal? di saat banyak dari warga negara lain mengirim doa dan bahkan bantuan, beberapa netizen Indonesia justru sibuk menyalahkan orang lain, pemerintah bahkan presiden atas apa yang terjadi. Ada pula yang menyangkutpautkan bencana dengan azab bahkan pembangunan sebuah bangunan di sekitar pantai. Tidakkah mereka tahu, bahkan jika seluruh manusia di muka Bumi ini beriman pun, gunung berapi tetap berpeluang meletus? Tidakkah mereka tahu, bahkan jika seluruh manusia di Bumi ini baik hati dan suka menolong pun, hujan meteor tetap berpeluang terjadi?

Saya hentikan rasa kesal tersebut, barangkali orang-orang yang memanfaatkan bencana untuk menjelek-jelekkan presiden dan pemerintah atau golongan yang tidak mereka sukai memang bertujuan untuk ditegur. Mencari perhatian demi kepentingan politik semata, atau memancing perdebatan demi memuaskan kesombongan dalam diri mereka. Saya tidak ingin ikut-ikutan memupuk kesombongan dalam diri mereka yang sibuk merasa lebih baik dari orang lain, dan sering kali mengaku peduli tapi berlagak layaknya Tuhan yang berhak menilai pahala serta dosa orang lain. Entah apa yang ada dalam benak mereka.

Saya kira apapun kepercayaannya, baik masyarakat yang pro maupun kontra dengan penguasa, saat sebuah negara mengalami bencana apalagi dengan korban yang tidak sedikit, maka yang harus dilakukan adalah bersatu membantu korban bencana untuk kembali bangkit. Jika bisa membantu materi, bantulah dengan materi. Jika bisa membantu dengan jasa, jadilah relawan yang terjun langsung membantu korban di lokasi. Jika tidak bisa memberikan bantuan berupa materi dan jasa, setidaknya bisa memberikan doa bagi korban dan dukungan bagi relawan juga pemerintah yang sedang berjuang memperbaiki situasi. Jangan malah nyinyir!



Saya hidup di sebuah masa, di mana isi otak manusia sering kali bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh jempolnya. Saya hidup di sebuah masa, di mana karakter manusia sering kali bisa ditebak melalui kata-kata yang ditulis maupun dibagikan oleh jari-jari manusia. Saya hidup di sebuah masa, di mana orang-orang yang memiliki kepentingan menggunakan jempolnya untuk memengaruhi otak-otak orang lain, tanpa harus bertatap muka terlebih dahulu.

            Saya hidup di sebuah masa, di mana jempol manusia serupa senjata yang lebih tajam dari pedang. Saya hidup di sebuah masa, di mana hanya dengan jari-jari, manusia bisa memengaruhi jutaan manusia lain untuk bertikai, saling baku hantam, bahkan menghilangkan nyawa sesamanya. Saya hidup di sebuah masa, di mana api bisa didapatkan tanpa harus menggesek-gesekkan dua batu terlebih dahulu, di mana jutaan manusia bisa kenyang tanpa harus berburu terlebih dahulu, di mana pasangan yang LDR bisa bertukar kabar tanpa harus repot-repot mengirimkan surat melalui merpati.

            Mudah? Tentu saja. 

            Harus semua manusia akui bahwa selalu ada resiko dari setiap keputusan. Mirisnya, salah satu resiko dari segala kemudahan yang manusia nikmati saat ini adalah semakin mudahnya orang-orang licik dalam meluncurkan niat-niat jahat mereka.

            Sekian dan semoga kita semua selalu “eling lan waspada”.










Pituruh, 02 Oktober 2018
Gambar by google

           
Rabu, 26 September 2018

Dosakah Menjadi "Kampungan"?



Mati listrik.

Bagi kami yang hidup di Kampung, selain susah sinyal dan minim kendaraan umum, mau tidak mau harus bersahabat pula dengan pemadaman listrik.

Bagi beberapa teman SMP, bisa dikatakan rumah saya belum terhitung pedalaman. Sebab banyak siswa lain yang rumahnya lebih terpencil jika dibandingkan Kampung saya. Berbeda dengan teman SMA, karena dirasa jauh, tidak sedikit dari mereka yang gemar meledek bahwa orang harus memiliki visa, baru bisa ke rumah saya. Salah satu teman SMA bahkan kaget saat pertama kali main ke rumah, “rumah Ela di Luar Negeri” ujarnya.



            Sebagai orang Kampung, sering kali geram rasanya saat ada orang menggunakan kata “ndeso” atau “kampungan” untuk memaki orang lain yang mereka rasa memiliki sikap kurang baik. Saya akui, tidak sedikit dari kami yang kurang pengetahuan tentang Peradaban Dunia. Bahkan saya sendiri, sempat ditertawakan perawat dan orang-orang di salah satu rumah sakit di Tangerang, karena melepas sepatu saat akan memasuki rumah sakit tersebut. Gokil kan?

            Saya adalah anak Kampung yang benar-benar jarang sekali melakukan perjalanan jauh sendirian. Awal duduk di sekolah dasar, saya selalu pergi ke Pituruh bersama orangtua atau guru (saat mengikuti perlombaan). Baru saat duduk di kelas enam SD, saya diperbolehkan pergi ke Pituruh bersama teman-teman. Mendaftar SMP.

            Begitu pula saat SMP, tiga tahun menjadi siswi sekolah menengah pertama, saya tidak pernah pergi ke Purworejo. Sampai kelas tiga SMP, saya baru dua kali ke Purworejo, itu pun saat SD. Menjenguk saudara yang sakit dan rawat inap di rumah sakit Purworejo. Di Kampung saya, jika ada tetangga yang sakit, kami akan menyewa angkot dan menjenguk bersamaan. Baru setelah pengumuman kelulusan dan (drama sangat panjang) permohonan izin untuk meneruskan sekolah diacc oleh orangtua, akhirnya saya sampai di Purworejo tanpa orangtua. 

            Bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang udik saat pertama kali sampai di sekolah termegah di Kota tersebut? Persis ekspresi artis-artis pemain FTV yang memerankan gadis kampung saat merantau ke Kota. 

Udik? Sebut saja itu dengan ndeso, kampungan, atau udik. 

Salah? Dosa? Saya rasa tidak, entah bagi orang-orang yang sering kali mengeluarkan kata-kata tersebut saat marah pada perilaku kurang menyenangkan dari orang lain. 



Keudikan saya tidak berhenti di situ saja. Saat SMA pun, saya tidak pernah main jauh. Kalau tidak salah, ke Jakarta baru dua kali: study tour SMP dan mendatangi pesta pernikahan saudara. Ke Yogyakarta malah baru sekali, saat study tour SD. Kota lain? Tentu saja belum pernah. Kaki saya sampai Kota Kebumen saja, setelah lulus kuliah, diajak Bulik ke Pasar. Kalau ke Magelang? malah baru setelah lulus kuliah, mengantar teman melamar pekerjaan. 

Bisa dibayangkan betapa kampungannya saya?

Saking ndesonya, saya sampai terjatuh di eskalator Mall Malioboro ketika pertama kali ke sana bersama teman-teman satu kelas, saat kelas tiga SMA dulu. Teman saya bahkan berkata “etok-etok rag kenal ae” (pura-pura gak kenal saja) untuk meledek saya. Seketika teman-teman yang lain tertawa. 

Apakah karena terjatuh di eskalator mall, lantas saya adalah orang jahat?



Saya adalah salah satu warga Kampung yang beruntung sebab bisa hidup di Kota dalam hitungan tahun. Setelah lulus kuliah, saya merantau ke Cikarang selama tiga bulan, lalu ke Tangerang selama sekitar satu setengah tahun. 

Jika kalian bertanya apakah saat kuliah saya sering bepergian, jawabannya adalah tidak. Saya kuliah atas bantuan pemerintah, itu pun masih sangat mencekik leher orangtua. Meski sering kali sambil jualan ini itu, nyatanya saya sempat terancam tidak bisa melanjutkan study sebab terkendala di detik-detik akhir masa kuliah. Kalau tidak salah, semester enam, keluarga saya mengalami krisis ekonomi yang hebat, sehingga kalimat “nek ora tekan lulus, ora apa-apa ya?” (jika tidak sampai lulus, tidak apa-apa ya?) keluar dari lisan mereka. 

Miris? Bagi beberapa dari kalian barangkali iya, bagi beberapa yang lain tentu saja saya adalah makhluk Kampung yang sangat beruntung. Sebab syukurnya, Tuhan merestui saya menjadi sarjana.

Sempat satu kali saya pergi ke Jakarta saat duduk di bangku Perguruan Tinggi dulu, bersama Mas Isdi dan Virda, mengikuti CFP di Universitas Budi Luhur. Bertemu kawan-kawan baru yang luar biasa hebat, mendapatkan ilmu dan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Ditambah lagi, pulang membawa hadiah. Ternyata, menjadi juara itu menyenangkan ya?



Listrik Menyala.

Syukurlah, listrik tidak padam seharian. Hahaha.

Setiap manusia memiliki selera yang berbeda terhadap segala hal. Dalam satu hal, barangkali kamu dan kawanmu sekata, dalam hal lain bisa jadi kalian bersebrangan. Selain karena gen, saya kira pengalaman hidup yang manusia alami pun menjadi alasan kenapa setiap individu memiliki selera yang tak sama. 

Ada yang memaki menggunakan kata anjing, ada pula yang memaki menggunakan kata jangkrik, jancuk, bangsat, bajingan, atau justru kampungan, udik, dan ndeso. 

            Apa setiap kali ada orang berkata anjing dan jangkrik berarti dia sedang mengumpat? Tidak kan? Begitu pula dengan kata yang lainnya. 

            Saya kira, kata tersebut menjadi bermakna buruk saat dilontarkan oleh orang-orang yang sedang marah atau sedang menyimpan kebencian. Di media sosial bahkan di Dunia Nyata saat ini, sering kali saya menemui kasus orang marah lalu memaki orang yang mereka tidak suka dengan sebutan “ndeso!” atau “kampungan!”. 

            Andai mereka tahu, meski banyak “Mak Nyinyir”, toleransi di Kampung sangat baik. Dibandingkan di Kota, warga Kampung jauh lebih guyub dan rukun. Meski fasilitas hidup tak semewah orang-orang di Kota, orang Kampung pekerja keras dan peduli terhadap sesama.

            Sebagai manusia normal, saya juga masih sering marah dan sesekali mengumpat. Tapi sebagai orang Kampung, saat ada yang memaki menggunakan kata ndeso, kampungan atau udik, saya jadi merasa dia sedang menghina keluarga dan seluruh orang di Kampung saya. Kesannya kok sombong, seakan-akan mereka merasa bahwa mereka jauh lebih mulia dari pada orang kampung. Pada faktanya, saya yakin banyak hal-hal baik yang ada di dalam diri masyarakat pedesaan dan belum tentu ada di dalam diri mereka yang sering memaki menggunakan kata ndeso, kampungan, atau udik. Sebegini baperannya saya ya? Heuheuheu.

            Walau saya yakin beberapa orang yang memaki menggunakan kata ndeso, kampungan, dan udik tidak berniat merendahkan warga Desa. Tapi, saat digunakan untuk melampiaskan kebencian, kok kesannya kata-kata tersebut jadi berkonotasi negatif ya?

            Walau warga Desa pun tidak sempurna, sebagai warga Desa yang sempat tinggal di Kota, saya berharap semakin berkurang orang-orang yang melampiaskan amarah dengan kata udik, ndeso atau kampungan. Toh, warga Kota tak selalu lebih baik dari warga Desa, kan?

Jika, bukan kita yang mulai memperbaiki budaya kurang baik di masyarakat, siapa lagi?


            
 


Pituruh, 26 September 2018
Foto by Google.
Jumat, 21 September 2018

Memupuk Semangat.


Hujan.

Beberapa hari ini hujan kembali bernafsu pada Bumi, barangkali doa cebong-cebong didengar Tuhan.

Hi. Sudah lama sekali ya, tepatnya setelah Tumblr diblokir, saya tidak menulis curhatan galau lagi. Terakhir memosting adalah curhatan tentang bakso, sengaja kembali menulis curhatan konyol, tapi ternyata saya sendiri tidak tertawa membacanya. Saya harus akui bahwa saya tidak cukup berbakat dalam membuat lelucon. Saya juga harus akui bahwa sisi romantis saya pas-pasan. Apalagi pengetahuan saya tentang sejarah, politik, pengetahuan alam, dan sosial, benar-benar sangat sedikit. 

Saya terjatuh pada kondisi di mana saya yakin, saya tidak cukup berbakat untuk menulis. Menyedihkan ya?


Hari ini, saya kembali memberanikan diri untuk menulis. Sebuah curhatan seperti biasa, cerita-cerita yang dulu sering saya posting di Tumblr. Hujan berhasil mengundang kenangan dan mengingatkan bahwa saya tidak pernah menulis untuk menjadi komedian, menjadi blogger ternama, menjadi jurnalis atau bahkan politisi. Itu kenapa saya pernah sangat asik menulis di Tumblr, sebab saya menulis hanya karena saya ingin berbagi cerita. Sisanya, terimakasih pada semua yang menyukai dan maaf apabila ada yang kurang berkenan.

Saya akan awali curhat kali ini dengan, lagi-lagi, kisah tentang saya dan status pengangguran saya ini. Jika pertanyaan “kapan lulus?” pada mahasiswa tingkat akhir adalah keramat. Maka pertanyaan “sekarang di mana?” pun keramat bagi pengangguran.


Desember 2017 adalah bulan keramat, saya memulai masa menganggur yang sangat panjang ini di bulan tersebut. Selama lulus 2015 lalu, saya tidak pernah betah nganggur sampai lebih dari tiga bulan. Hampir setiap hari memiliki kegiatan, berdiam diri di rumah atau kosan terasa sangat sangat sangat membosankan.

Tapi kali ini, hampir satu tahun saya menganggur. Betah? Saya kira meski sering mengeluhkan tidak punya uang, nyatanya kali ini saya betah menjadi pengangguran. Jika tidak betah, mungkin saya akan menjual leptop, hasil menabung saya selama satu tahun lebih ini, untuk modal mencari kerja di Kota. Nyatanya, saya menikmati waktu di mana Mamak pergi menjual sayur keliling Kampung, Bapak bekerja, dan dapur menjadi milik saya seutuhnya. Menggunakan alat-alat masak dan bahan-bahan seadanya, saya mencoba mengisi hari-hari saya dengan hal menyenangkan di Dapur. Di temani kucing-kucing tersayang, saya menghabiskan waktu menganggur dengan sangat menyenangkan. Tidak tahu diri ya? Hehehe.

Bagi kalian yang mengikuti tulisan saya di Tumblr dulu, mungkin akan bertanya “apa tidak tertekan berada di rumah, menjadi pengidap depresi sekaligus pengangguran, di usia yang pasti akan digunjingkan tetangga sebab belum menikah?” jawabannya adalah “tentu saja saya tertekan”. Tapi jika dibandingkan saat saya bekerja dulu, ternyata mendapatkan tekanan batin dari keluarga lebih bisa saya maklumi dari pada mendapat tekanan batin dari orang lain. Seperti apapun Bapak dan Mamak saya, seperti apapun Simbok saya, seperti apapun saya saat mengeluhkan beberapa sikap mereka, saya menyayangi mereka dan saya yakin mereka menyayangi saya melebihi kasih sayang teman-teman saya di luar sana. 

Saya pernah berada di titik terendah hidup saya, di mana nyaris tidak ada satu pun teman yang mau mengerti dan memahami kondisi batin saya, banyak yang memilih cuek, menjauhi, bahkan mungkin menertawakan di belakang saya. Saat itu keluarga adalah orang-orang yang mendekat, mencari tahu ada apa dengan saya, dan mencari jalan keluar dari kemelut batin yang saya alami.



Keluarga adalah obat, tapi sepertinya terlalu banyak mengosumsi obat juga tidak baik bagi masa depan kan? Hahaha.

Setelah Agustus kemarin sempat freelance di salah satu perusahaan, bertemu rekan kerja yang seumuran, kembali mengalami hal-hal menyenangkan di tempat kerja, menjadi pengangguran kembali terasa berat. Pikiran saya kembali mengundang pertanyaan-pertanyaan yang membuat jiwa saya terusik:

  1. Jika kamu terus menerus berada di rumah, bagaimana mau bertemu jodoh? Bagaimana mau mendapatkan penghasilan? Kamu pikir menjadi makhluk hidup dan bertambah umur, tak membuat kebutuhanmu pun ikut bertambah? 
  2. Nah! Ngomongin umur, sudah berapa umurmu? Mau sampai kapan menganggur? Lihat! Teman-teman kamu sibuk bekerja dan mengisi waktu dengan hal positif, kamu? Menghabis-habiskan tabungan untuk membuat makanan yang tidak selalu seperti ekspektasimu!
  3. Ngomongin makanan, apa kamu tidak ingin memiliki penghasilan yang cukup agar bisa memasak lebih banyak macam masakan lagi? Lebih banyak alat memasak lagi? Gak pingin beli blender dan teflon?

dan pertanyaan-pertanyaan lain yang menggelisahkan. Membuat keinginan untuk bekerja kembali semakin kuat.

Sebenarnya, saya sudah menerima satu tawaran kerja dari kenalan. Saya kira, dari sekian orang yang menawarkan pekerjaan, beliau adalah orang yang paling mengerti kondisi batin dan watak saya. Saya juga sudah menceritakan pengalaman buruk saya tentang tawaran pekerjaan dari kenalan di medsos. Saya punya harapan, hal menyebalkan tidak kembali saya alami saat menerima tawaran dari beliau. Waktu berjalan dan harapan terlanjur menguat, namun kapastian tak kunjung datang. 

Sayangnya kesabaran saya yang masih sebiji jagung, akhirnya bersatu dengan kondisi di mana bosan nganggur semakin menjadi-jadi. Saya sempat menyesal menerima tawaran dari beliau, tapi akhirnya saya memilih untuk menjadikan semua itu pelajaran dan berlatih ikhlas. Saya pernah kehilangan silaturahmi yang baik dengan seseorang karena pekerjaan, saya tidak ingin hal serupa kembali terjadi. 


Hujan mulai reda.

Saya tidak tahu kapan akan kembali bekerja, di mana, dan sebagai apa. Sebagai seseorang yang bisa dikatakan tidak pernah betah dalam bekerja, saya berharap setelah ini saya berhasil menghilangkan kesan buruk tersebut dalam diri saya. 

Menjadi lajang di usia yang bisa dikatakan siap untuk menikah, seringkali terasa menyedihkan. Tetapi menjadi lajang sekaligus pengangguran di tengah masyarakat yang lebih sering nyinyir dari pada memberikan dukungan, merupakan beban hidup yang kadang terasa sangat menyebalkan.

Meski semua yang kita alami harus kita syukuri, juga harus kita yakini akan ada hikmah di baliknya, semoga kita semua lebih memilih untuk memberi semangat kepada mereka yang sedang merasa sulit, dari pada menilai buruk mereka yang sedang mengeluh.

Hujan reda, matahari kembali mengintip.

Sampai di sini dulu curhatan saya untuk hari ini. Semoga saya dan kalian tidak pernah kehabisan semangat dan harapan. 

Selamat berjuang, Barisan Para Pengangguran!






Pituruh, 20 September 2018

Gambar by Google