Mati
listrik.
Bagi
kami yang hidup di Kampung, selain susah sinyal dan minim kendaraan umum, mau
tidak mau harus bersahabat pula dengan pemadaman listrik.
Bagi
beberapa teman SMP, bisa dikatakan rumah saya belum terhitung pedalaman. Sebab
banyak siswa lain yang rumahnya lebih terpencil jika dibandingkan Kampung saya.
Berbeda dengan teman SMA, karena dirasa jauh, tidak sedikit dari mereka yang
gemar meledek bahwa orang harus memiliki visa, baru bisa ke rumah saya. Salah
satu teman SMA bahkan kaget saat pertama kali main ke rumah, “rumah Ela di Luar
Negeri” ujarnya.
Sebagai orang Kampung, sering kali
geram rasanya saat ada orang
menggunakan kata “ndeso” atau “kampungan” untuk memaki orang lain yang mereka
rasa memiliki sikap kurang baik. Saya akui, tidak sedikit dari kami yang kurang
pengetahuan tentang Peradaban Dunia. Bahkan saya sendiri, sempat ditertawakan
perawat dan orang-orang di salah satu rumah sakit di Tangerang, karena melepas
sepatu saat akan memasuki rumah sakit tersebut. Gokil kan?
Saya adalah anak Kampung yang
benar-benar jarang sekali melakukan perjalanan jauh sendirian. Awal duduk di
sekolah dasar, saya selalu pergi ke Pituruh bersama orangtua atau guru (saat
mengikuti perlombaan). Baru saat duduk di kelas enam SD, saya diperbolehkan
pergi ke Pituruh bersama teman-teman. Mendaftar
SMP.
Begitu pula saat SMP, tiga tahun
menjadi siswi sekolah menengah pertama, saya tidak pernah pergi ke Purworejo.
Sampai kelas tiga SMP, saya baru dua kali ke Purworejo, itu pun saat SD. Menjenguk saudara yang
sakit dan rawat inap di rumah sakit
Purworejo. Di Kampung saya, jika ada tetangga yang sakit, kami akan menyewa
angkot dan menjenguk bersamaan. Baru setelah
pengumuman kelulusan dan (drama sangat panjang) permohonan izin untuk
meneruskan sekolah diacc oleh orangtua, akhirnya saya sampai di Purworejo tanpa
orangtua.
Bisa bayangkan bagaimana rasanya
menjadi seorang udik saat pertama
kali sampai di sekolah termegah di Kota tersebut? Persis
ekspresi artis-artis pemain FTV yang memerankan gadis kampung saat merantau ke
Kota.
Udik?
Sebut saja itu dengan ndeso, kampungan, atau udik.
Salah?
Dosa? Saya rasa tidak, entah bagi
orang-orang yang sering kali mengeluarkan kata-kata tersebut saat marah pada
perilaku kurang menyenangkan dari orang
lain.
Keudikan
saya tidak berhenti di situ saja. Saat
SMA pun, saya tidak pernah main jauh.
Kalau tidak salah, ke Jakarta baru dua kali:
study tour SMP dan mendatangi pesta pernikahan
saudara. Ke
Yogyakarta malah baru sekali,
saat study tour SD. Kota lain? Tentu saja belum pernah. Kaki saya sampai Kota
Kebumen saja, setelah lulus kuliah, diajak Bulik ke Pasar. Kalau ke Magelang? malah baru setelah lulus kuliah, mengantar
teman melamar pekerjaan.
Bisa
dibayangkan betapa kampungannya saya?
Saking ndesonya, saya sampai
terjatuh di eskalator Mall Malioboro ketika pertama kali ke sana bersama
teman-teman satu kelas, saat kelas tiga SMA dulu. Teman saya bahkan berkata
“etok-etok rag kenal ae” (pura-pura gak
kenal saja) untuk meledek saya. Seketika
teman-teman yang lain tertawa.
Apakah
karena terjatuh di eskalator mall, lantas saya adalah orang jahat?
Saya
adalah salah satu warga Kampung yang beruntung sebab bisa hidup di Kota dalam
hitungan tahun. Setelah lulus kuliah, saya merantau ke Cikarang selama tiga
bulan, lalu ke Tangerang selama sekitar satu setengah tahun.
Jika
kalian bertanya apakah saat kuliah saya sering bepergian, jawabannya adalah
tidak. Saya kuliah atas bantuan pemerintah, itu pun masih sangat mencekik leher
orangtua. Meski sering kali sambil jualan ini itu, nyatanya saya sempat
terancam tidak bisa melanjutkan study sebab terkendala di detik-detik akhir
masa kuliah. Kalau tidak salah, semester enam, keluarga saya mengalami krisis
ekonomi yang hebat, sehingga kalimat “nek ora tekan lulus, ora apa-apa ya?”
(jika tidak sampai lulus, tidak apa-apa ya?) keluar dari lisan mereka.
Miris?
Bagi beberapa dari kalian barangkali iya, bagi beberapa yang lain tentu saja
saya adalah makhluk Kampung yang sangat beruntung. Sebab syukurnya, Tuhan
merestui saya menjadi sarjana.
Sempat
satu kali saya pergi ke Jakarta saat duduk di bangku Perguruan Tinggi dulu,
bersama Mas Isdi dan Virda, mengikuti CFP di Universitas Budi Luhur. Bertemu
kawan-kawan baru yang luar biasa hebat, mendapatkan ilmu dan pengalaman yang
tidak akan terlupakan. Ditambah lagi, pulang membawa hadiah. Ternyata, menjadi juara
itu menyenangkan ya?
Listrik
Menyala.
Syukurlah,
listrik tidak padam seharian. Hahaha.
Setiap
manusia memiliki selera yang berbeda terhadap segala hal. Dalam satu hal,
barangkali kamu dan kawanmu sekata, dalam hal lain bisa jadi kalian
bersebrangan. Selain karena gen, saya kira pengalaman hidup yang manusia alami
pun menjadi alasan kenapa setiap individu memiliki selera yang tak sama.
Ada
yang memaki menggunakan kata anjing, ada pula yang memaki menggunakan kata
jangkrik, jancuk, bangsat, bajingan, atau justru kampungan, udik, dan ndeso.
Apa setiap kali ada orang berkata
anjing dan jangkrik berarti dia sedang mengumpat? Tidak kan? Begitu pula dengan
kata yang lainnya.
Saya kira, kata tersebut menjadi
bermakna buruk saat dilontarkan oleh orang-orang yang sedang marah atau sedang
menyimpan kebencian. Di media sosial bahkan di Dunia Nyata saat ini, sering
kali saya menemui kasus orang marah lalu memaki orang yang mereka tidak suka
dengan sebutan “ndeso!” atau “kampungan!”.
Andai mereka tahu, meski banyak “Mak
Nyinyir”, toleransi di Kampung sangat baik. Dibandingkan di Kota, warga Kampung
jauh lebih guyub dan rukun. Meski fasilitas hidup tak semewah orang-orang di
Kota, orang Kampung pekerja keras dan peduli terhadap sesama.
Sebagai manusia normal, saya juga
masih sering marah dan sesekali mengumpat. Tapi sebagai orang Kampung, saat ada
yang memaki menggunakan kata ndeso, kampungan atau udik, saya jadi merasa dia sedang menghina
keluarga dan seluruh orang di Kampung saya. Kesannya kok sombong, seakan-akan mereka merasa bahwa mereka jauh lebih mulia
dari pada orang kampung. Pada faktanya, saya yakin banyak hal-hal baik
yang ada di dalam diri masyarakat pedesaan dan belum tentu ada di dalam diri
mereka yang sering memaki menggunakan kata ndeso, kampungan, atau udik. Sebegini baperannya saya ya?
Heuheuheu.
Walau saya yakin beberapa orang yang
memaki menggunakan kata ndeso, kampungan, dan udik tidak berniat merendahkan
warga Desa. Tapi, saat digunakan untuk melampiaskan
kebencian, kok kesannya kata-kata tersebut jadi berkonotasi
negatif ya?
Walau
warga Desa pun tidak sempurna, sebagai warga Desa yang sempat tinggal di Kota, saya
berharap semakin berkurang orang-orang yang melampiaskan amarah dengan kata
udik, ndeso atau kampungan. Toh, warga Kota tak selalu lebih baik dari warga
Desa, kan?
Jika, bukan kita yang mulai
memperbaiki budaya kurang baik di masyarakat, siapa lagi?
Pituruh,
26 September 2018
Foto by Google.
Betul kak keduanya membutuhkan satu sama lain tetapi tidak ada yg boleh merendahkan salah satunya
BalasHapuskunjungi juga ya
http://allaboutgeo-edu.blogspot.com