Copyright © Goresan Tinta Ela
Design by Dzignine
Rabu, 26 September 2018

Dosakah Menjadi "Kampungan"?



Mati listrik.

Bagi kami yang hidup di Kampung, selain susah sinyal dan minim kendaraan umum, mau tidak mau harus bersahabat pula dengan pemadaman listrik.

Bagi beberapa teman SMP, bisa dikatakan rumah saya belum terhitung pedalaman. Sebab banyak siswa lain yang rumahnya lebih terpencil jika dibandingkan Kampung saya. Berbeda dengan teman SMA, karena dirasa jauh, tidak sedikit dari mereka yang gemar meledek bahwa orang harus memiliki visa, baru bisa ke rumah saya. Salah satu teman SMA bahkan kaget saat pertama kali main ke rumah, “rumah Ela di Luar Negeri” ujarnya.



            Sebagai orang Kampung, sering kali geram rasanya saat ada orang menggunakan kata “ndeso” atau “kampungan” untuk memaki orang lain yang mereka rasa memiliki sikap kurang baik. Saya akui, tidak sedikit dari kami yang kurang pengetahuan tentang Peradaban Dunia. Bahkan saya sendiri, sempat ditertawakan perawat dan orang-orang di salah satu rumah sakit di Tangerang, karena melepas sepatu saat akan memasuki rumah sakit tersebut. Gokil kan?

            Saya adalah anak Kampung yang benar-benar jarang sekali melakukan perjalanan jauh sendirian. Awal duduk di sekolah dasar, saya selalu pergi ke Pituruh bersama orangtua atau guru (saat mengikuti perlombaan). Baru saat duduk di kelas enam SD, saya diperbolehkan pergi ke Pituruh bersama teman-teman. Mendaftar SMP.

            Begitu pula saat SMP, tiga tahun menjadi siswi sekolah menengah pertama, saya tidak pernah pergi ke Purworejo. Sampai kelas tiga SMP, saya baru dua kali ke Purworejo, itu pun saat SD. Menjenguk saudara yang sakit dan rawat inap di rumah sakit Purworejo. Di Kampung saya, jika ada tetangga yang sakit, kami akan menyewa angkot dan menjenguk bersamaan. Baru setelah pengumuman kelulusan dan (drama sangat panjang) permohonan izin untuk meneruskan sekolah diacc oleh orangtua, akhirnya saya sampai di Purworejo tanpa orangtua. 

            Bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang udik saat pertama kali sampai di sekolah termegah di Kota tersebut? Persis ekspresi artis-artis pemain FTV yang memerankan gadis kampung saat merantau ke Kota. 

Udik? Sebut saja itu dengan ndeso, kampungan, atau udik. 

Salah? Dosa? Saya rasa tidak, entah bagi orang-orang yang sering kali mengeluarkan kata-kata tersebut saat marah pada perilaku kurang menyenangkan dari orang lain. 



Keudikan saya tidak berhenti di situ saja. Saat SMA pun, saya tidak pernah main jauh. Kalau tidak salah, ke Jakarta baru dua kali: study tour SMP dan mendatangi pesta pernikahan saudara. Ke Yogyakarta malah baru sekali, saat study tour SD. Kota lain? Tentu saja belum pernah. Kaki saya sampai Kota Kebumen saja, setelah lulus kuliah, diajak Bulik ke Pasar. Kalau ke Magelang? malah baru setelah lulus kuliah, mengantar teman melamar pekerjaan. 

Bisa dibayangkan betapa kampungannya saya?

Saking ndesonya, saya sampai terjatuh di eskalator Mall Malioboro ketika pertama kali ke sana bersama teman-teman satu kelas, saat kelas tiga SMA dulu. Teman saya bahkan berkata “etok-etok rag kenal ae” (pura-pura gak kenal saja) untuk meledek saya. Seketika teman-teman yang lain tertawa. 

Apakah karena terjatuh di eskalator mall, lantas saya adalah orang jahat?



Saya adalah salah satu warga Kampung yang beruntung sebab bisa hidup di Kota dalam hitungan tahun. Setelah lulus kuliah, saya merantau ke Cikarang selama tiga bulan, lalu ke Tangerang selama sekitar satu setengah tahun. 

Jika kalian bertanya apakah saat kuliah saya sering bepergian, jawabannya adalah tidak. Saya kuliah atas bantuan pemerintah, itu pun masih sangat mencekik leher orangtua. Meski sering kali sambil jualan ini itu, nyatanya saya sempat terancam tidak bisa melanjutkan study sebab terkendala di detik-detik akhir masa kuliah. Kalau tidak salah, semester enam, keluarga saya mengalami krisis ekonomi yang hebat, sehingga kalimat “nek ora tekan lulus, ora apa-apa ya?” (jika tidak sampai lulus, tidak apa-apa ya?) keluar dari lisan mereka. 

Miris? Bagi beberapa dari kalian barangkali iya, bagi beberapa yang lain tentu saja saya adalah makhluk Kampung yang sangat beruntung. Sebab syukurnya, Tuhan merestui saya menjadi sarjana.

Sempat satu kali saya pergi ke Jakarta saat duduk di bangku Perguruan Tinggi dulu, bersama Mas Isdi dan Virda, mengikuti CFP di Universitas Budi Luhur. Bertemu kawan-kawan baru yang luar biasa hebat, mendapatkan ilmu dan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Ditambah lagi, pulang membawa hadiah. Ternyata, menjadi juara itu menyenangkan ya?



Listrik Menyala.

Syukurlah, listrik tidak padam seharian. Hahaha.

Setiap manusia memiliki selera yang berbeda terhadap segala hal. Dalam satu hal, barangkali kamu dan kawanmu sekata, dalam hal lain bisa jadi kalian bersebrangan. Selain karena gen, saya kira pengalaman hidup yang manusia alami pun menjadi alasan kenapa setiap individu memiliki selera yang tak sama. 

Ada yang memaki menggunakan kata anjing, ada pula yang memaki menggunakan kata jangkrik, jancuk, bangsat, bajingan, atau justru kampungan, udik, dan ndeso. 

            Apa setiap kali ada orang berkata anjing dan jangkrik berarti dia sedang mengumpat? Tidak kan? Begitu pula dengan kata yang lainnya. 

            Saya kira, kata tersebut menjadi bermakna buruk saat dilontarkan oleh orang-orang yang sedang marah atau sedang menyimpan kebencian. Di media sosial bahkan di Dunia Nyata saat ini, sering kali saya menemui kasus orang marah lalu memaki orang yang mereka tidak suka dengan sebutan “ndeso!” atau “kampungan!”. 

            Andai mereka tahu, meski banyak “Mak Nyinyir”, toleransi di Kampung sangat baik. Dibandingkan di Kota, warga Kampung jauh lebih guyub dan rukun. Meski fasilitas hidup tak semewah orang-orang di Kota, orang Kampung pekerja keras dan peduli terhadap sesama.

            Sebagai manusia normal, saya juga masih sering marah dan sesekali mengumpat. Tapi sebagai orang Kampung, saat ada yang memaki menggunakan kata ndeso, kampungan atau udik, saya jadi merasa dia sedang menghina keluarga dan seluruh orang di Kampung saya. Kesannya kok sombong, seakan-akan mereka merasa bahwa mereka jauh lebih mulia dari pada orang kampung. Pada faktanya, saya yakin banyak hal-hal baik yang ada di dalam diri masyarakat pedesaan dan belum tentu ada di dalam diri mereka yang sering memaki menggunakan kata ndeso, kampungan, atau udik. Sebegini baperannya saya ya? Heuheuheu.

            Walau saya yakin beberapa orang yang memaki menggunakan kata ndeso, kampungan, dan udik tidak berniat merendahkan warga Desa. Tapi, saat digunakan untuk melampiaskan kebencian, kok kesannya kata-kata tersebut jadi berkonotasi negatif ya?

            Walau warga Desa pun tidak sempurna, sebagai warga Desa yang sempat tinggal di Kota, saya berharap semakin berkurang orang-orang yang melampiaskan amarah dengan kata udik, ndeso atau kampungan. Toh, warga Kota tak selalu lebih baik dari warga Desa, kan?

Jika, bukan kita yang mulai memperbaiki budaya kurang baik di masyarakat, siapa lagi?


            
 


Pituruh, 26 September 2018
Foto by Google.

1 komentar:

  1. Betul kak keduanya membutuhkan satu sama lain tetapi tidak ada yg boleh merendahkan salah satunya

    kunjungi juga ya
    http://allaboutgeo-edu.blogspot.com

    BalasHapus