Gertakku
tak lantas membuatmu kembali, dalam gelap yang pekat kau lelap terlalu dini.
Bangun kesatria, bangunlah!!!
"Pergilah!"
katamu lembut.
Dengan
darah yang melumuri tubuhku, kaki membawaku pergi jauh dari jasadmu. Langkah
demi langkah membawa tubuhku menjauh dari mereka. Sial. Semakin aku berusaha
semakin energiku habis. Aku tak lagi mampu berubah menjadi sosok Srigalaku.
Sementara ini itu bukanlah hal penting, ada hal lain yang harus ku perjuangkan,
aku harus tetap hidup untuk membebaskan Putraku, Exel.
Nyeri
bibir kala taringku tak sengaja mengenai lukanya tak lagi menjadi sakitku.
Tubuh tanpa jiwa milik Jacson tak lagi harus ku tangisi, meski air mataku belum
tuntas mengaliri duka atas kematiannya. Manusia hanyalah makhluk mengerikan
selama mereka masih haus akan gelimangnya dunia. Apapun yang mereka usahakan,
aku tak akan berhenti melindungi bangsaku. Mereka yang tersisa memiliki hak
untuk hidup. Kami harus memiliki keturunan. Karena kami adalah penyeimbang.
Manusia tanpa kami hanyalah sampah. Hewan tanpa kami adalah mainan. Kami adalah
kelompok terakhir, manusia memanggil kami dengan sebutan Sang Pemangsa. Mereka
tak pernah sadar betapa kesalnya kami atas panggilan keji itu.
Tanganku
menarik beberapa dahan kering, melekatkan pada tubuhku dengan darah sebagai
perekatnya. Sesekali aku meringis perih ketika dahan itu menyentuh luka di
beberapa bagian tubuhku. Luka karena keserakahan manusia. Biadab.
Jantungku
masih berdetak, air mata belum kering dari pipiku. Darah-darah amis itu melekat
pada kulitku. Sampai kapanpun, Gio bersaudara tak akan ku lepaskan. Mereka
hanya punya dua pilihan, menyerahkan Putraku atau semua anak buah mereka lenyap
dari dunia ini.
Exel
bukan Srigala lemah, meski mereka mengurungnya dalam jeruji dengan cairan terin
sebagai pelapisnya, otak Putraku tak sebatas insting hewan. Ada kecerdasan
leluhur kami yang menurun pada akal Putraku. Ada kecerdasan yang beradu dengan
ganasnya darah Srigala. Ada nurani pencipta kami yang melekat pada jiwanya. Dan
tentu saja, ada aku yang tak akan pernah membiarkan Gio juga antek-anteknya
melukai Putraku. Tidak akan pernah.
Perlahan
ku sandarkan tubuh penuh luka ini pada salah satu pohon di Hutan Mlanding ini.
Sesekali bayangan Jacson menyergap bagai luka paling pilu. Kematiannya bukanlah
hal yang harus terus ku tangisi, tetapi caranya mati adalah hal paling kejam
yang tak mungkin ku lupakan. Dari mana para Gio mendapatkan ramuan untuk
menciptakan cairan
terin?
Penelitian
Gio bersaudara tak boleh diketahui publik. Kami hidup bukan untuk diketahui
oleh manusia. Kami hidup sebagai penyeimbang antara bangsa manusia dan bangsa
srigala. Kami adalah manusia saat pagi datang. Sebaliknya, srigala adalah sosok
kami saat matahari tenggelam. Harus seperti itu, tak bisa seperti ini.
Bagaimana caraku untuk melenyapkan fungsi cairan terin pada bangsa kami?
Bagaimana jika Gio bersaudara bersama kelompoknya menemukan tempat tinggal
kami? Aku harus segera bergegas.
Agrrhh.
Sial, luka di kaki kiriku nyaris melumpuhkan syaraf kakiku. Gio bersaudara
jelas-jelas menambahkan ramuan baru pada cairan biadab itu. Cairan itu tak
seganas ini sebelumnya. Cairan itu hanya mampu membuat kami kesakitan dan tak
sadar. Ada hal lain yang membuat cairan itu mampu membakar dan mematikan sistem
syaraf kami. Biadab!!!
Suara
senapan?
Ternyata
mereka masih mengejarku.
Dalam
riuh langkah kaki para monster biadap itu, jantungku berdetak luar biasa.
Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ku miliki, ku peluk kedua kakiku, berharap
akar pohon ini mampu menyembunyikan wujud manusiaku. Berikan aku keajaiban,
Tuhan.
Rasa
nyeri pada bagian betis dan pergelangan kaki, rasa sakit luar biasa yang
menjalar dari luka akibat cairan terin itu membuat tubuhku semakin lemah. Oh
tidak, ada seseorang menuju tempat ini. Jangan biarkan aku tertangkap, Tuhan.
“Ada
bau darah persilangan di dekat sini, aku yakin dia ada di sini.”
Suara
itu, langkah kaki itu semakin dekat. Kringat dan darahku mengucur semakin
deras. Mataku tak lagi sanggup terbuka, lemas. Jikapun aku tertangkap, jangan
biarkan mereka mendaptkan otak dan darahku, Tuhan.
“Gibran,
dia di sini.”
Seorang
lelaki berteriak diikuti puluhan langkah kaki yang menuju ke arahku. Apapun
yang terjadi, aku harus siap.
Gelap.
Bersambung...
Yogyakarta, 18 Desember 2014
Ela Sri Handayaningsih