Kau,
seberkas fajar yang berdansa dengan pagi.
Lihatlah, aku serupa embun yang menantimu dengan riang.
Lihatlah, aku serupa embun yang menantimu dengan riang.
Mungkin,
aku tak lain sekuntum mawar yang menyembunyikan indahnya dalam duri.
Mengendap-endap kala cahayamu mulai mengintip. Mempesona.
Mengendap-endap kala cahayamu mulai mengintip. Mempesona.
Bisa
jadi, aku adalah senja yang menantimu rebah. Melukiskan indahmu dengan kuas
penuh cinta. Menenangkan.
Kemarin,
lisanku masih setia menyulam kisah dengan hati penuh debar. Berharap cahayamu
mampu hangatkan batinku yang beku oleh malam.
Hari
ini, jemariku kembali memintal cerita dengan air mata.
Sayang, telingamu tak setangguh kemarin. Hatimu bukanlah ladang yang lapang. Tak lagi ada tenang, hanya lara yang menyisakan luka.
Sayang, telingamu tak setangguh kemarin. Hatimu bukanlah ladang yang lapang. Tak lagi ada tenang, hanya lara yang menyisakan luka.
Barang
kali, aku adalah Cinderella yang tak sempat kau temukan. Haruskah aku bilang
selamat tinggal kala bait demi bait sajakku tak jua mampu kau pahami?
Yogyakarta,
7 Desember 2014.
Ela Sri Handayaningsih
Ela Sri Handayaningsih
Terimakasih sudah berkunjung :)
BalasHapusArtikel nya bagus Mbak, Saya jadi nge feell mengena banget!
BalasHapusOh iya, Blog Mbak sudah saya Follow, jika berkenan Follback juga blog saya http://mukeu.blogspot.com/
Terimakasih sudah berkunjung. Nanti saya berkunjung situ :)
BalasHapusCkckck... syahdu nian :)
BalasHapusTerimakasih :)
Hapus