Copyright © Goresan Tinta Ela
Design by Dzignine
Selasa, 06 Januari 2015

Maaf, aku memilih mati.



 

Ratapku menggema dalam dinding-dinding batin. Terbersit pensil dan kertas sebagai luapan terakhir. Ah, jangan, hanya semakin menyiksa batin mereka yang ku tinggalkan. Jutaan akal menggeliat jahat. Peluang untukku mati semakin terlihat jelas. Banyak cara untuk mati, sekarang atau nanti, setelah semua orang semakin membuatku tersudutkan.

***

Air mataku mengalir tanpa isak. Apa yang akan mereka fikirkan akan sosokku nanti?
Pengecutkah?
Bodohkah?
Pendosakah?

Mereka hanya tahu semua orang punya masalah, tapi tak pernah mau paham bagaimana kondisi batinku. Haha apalagi kau, Ardi. Lelaki yang selalu memandang bahwa aku wanita penuh drama. Apa kau fikir meninggalkanku dengan benihmu dalam rahimku adalah tingkah pandai seorang lelaki? Hahaha. Kau tak lebih dari binatang berhati setan yang hidup dalam wadah manusia. Biadap. Aaaaaaaaaaakkk ! 

Boleh aku menyebut namaMu, Tuhan ? 

Sejenak aku tenang, selalu ada kesejukan kala adaMu terbersit dalam benak. Kau ada, kan? Kenapa semua ini terjadi padaku? 

Tunggu !
Tunggu dulu !
Jangan ingatkan aku akan nilai KKN yang belum juga keluar. Jangan ingatkan aku akan masalah-masalah di lingkaran sistem kampus itu. 

Iya ! Iya ! Aku tahu aku akan mengulang saat nilaiku tidak keluar. Iya ! Aku tahu. Cukup ! Jangan lagi ingatkan ! 

"Ayah, maafkan Putrimu." 

Akhirnya isak mulai menyapa tangisku. Semua bayangan itu, masalah-masalah mengerikan yang datang bersamaan. Seharusnya aku kuat. Keluargaku menunggu gelar sarjanaku. Aku akan mendapatkannya setelah Skripsi ku lalui. Bukankah aku mahasiswa? Tugas utamaku adalah menyelesaikan kuliah. Melalui tahap Skripsi dan menjadi sarjana. Semua mereka tak akan peduli dengan jatuh bangunku dalam proses yang ku lalui. Mereka hanya peduli dengan hasil yang ku dapatkan. Hanya itu.

Ardi. Tak bisakah kau memberikan sedikit belas kasihmu pada aku? Atau pada keluargaku yang akan dihujani dengan hujatan oleh orang-orang saat tahu anaknya hamil di luar nikah? Setidaknya, kasihanilah benih ini, anakmu, darah dagingmu yang tumbuh dalam rahimku. Kasihanilah, Ardi. Jangan begini. Jangan tinggalkan aku dalam keadaan terberat yang ku alami. Bukankah biasanya kau ada saat aku butuhkan? Bukankah kita pernah mengikat janji untuk bersama? Untuk saling ada satu sama lainnya? Bukankah dulu kamu pernah menjanjikan itu, Ardi? Kenapa 10% perasaanmu tak kau gunakan dengan baik? Di mana hatimu?

Diam Anne, diam ! 

Isak tak akan membawamu ke dalam penyelesaian masalah. Kau hanya akan didatangi teman-teman kosmu dan mereka akan menanyakan masalahmu. Kau tak mungkin bilang apa alasanmu menangis. Mereka tak akan mengerti. Percayalah. Mereka tak akan paham. Mereka hanya akan semakin memperburuk kondisi batinmu yang lebam.

Diamlah Anne. Kau punya otak yang baik, maka berfikirlah. Cari jalan keluar. Pasti ada jalan.

***

Ratapku menggema dalam dinding-dinding batin. Terbersit pensil dan kertas sebagai luapan terakhir. Ah, jangan, hanya semakin menyiksa batin mereka yang ku tinggalkan. Jutaan akal menggeliat jahat. Peluang untukku mati semakin terlihat jelas. Banyak cara untuk mati, sekarang atau nanti, setelah semua orang semakin membuatku tersudutkan.

***

Haruskah?

Tak adakah jalan lain?

Bagaimana dengan keluarga yang ku tinggalkan? Bagaimana dengan omongan orang-orang tentang aku?

Ya, kau benar. Saat itu terjadi, aku sudah mati. Itu bukanlah masalah bagiku. Toh, jika aku mati, tidak akan ada yang tahu kalau aku hamil. Nama baik keluargaku selamat.

Ya, kau benar. Jika aku mati, aku akan terbebas dari semua masalah ini. Aku tak perlu membingungkan nilai KKNku, tak perlu merisaukan Skripsiku, tak perlu menguras air mata mengingat janin ini tumbuh dan lahir tanpa Ayah. Hahaha aku akan bebas. Aku tak perlu berkata apapun pada Ayah dan Ibu. Mereka akan sedih sejenak kemudian bahagia kembali. Bagaimana jika aku hidup bersama janin ini? Kami hanyalah pencemar nama baik yang akan abadi sampai ajal secara alami datang kepada mereka. Masalah akan semakin runyam saat aku dan janin ini hidup.

Ardi. Aku tak tahu, apakah kondisi ini akan semakin baik jika kau mau bertanggungjawab. Toh, pada akhirnya, aku tetaplah aib bagi keluarga.

Maafkan aku, Ayah. Aku gagal menjadi Putri yang membanggakan. Maafkan Putrimu, Ibu. Aku tak sanggup setangguh Ibu. Maafkan aku Kak, maafkan aku. 

***

Ratapku menggema dalam dinding-dinding batin. Terbersit pensil dan kertas sebagai luapan terakhir. Ah, jangan, hanya semakin menyiksa batin mereka yang ku tinggalkan. Jutaan akal menggeliat jahat. Peluang untukku mati semakin terlihat jelas. Banyak cara untuk mati, sekarang atau nanti, setelah semua orang semakin membuatku tersudutkan.

***

Sesak. Kepalaku terasa berat. Aliran darahku terputus. Ada sekat yang membendung darah untuk naik ke otak. Terasa begitu berat. Untung saja luka pada hatiku jauh lebih sakit dari jeratan kain di leherku.

Semakin sesak. Aku tak mampu bernapas lega. HPku berbunyi? 

Mataku buyar. Ardi? Buat apa dia menghubungiku lagi. Ah. Semua badanku terasa lemas. Ingin rasanya ku tarik kakiku dan meletakkannya dijendela. Terlambat, aku tak lagi kuat mengangkat kaki. Selamat tinggal, dunia.

"Anne, hari ini aku dan Ayah Ibuku datang ke rumahmu. Aku sudah melamarmu. Semua akan baik-baik saja. Maaf, kemarin aku meninggalkanmu begitu saja. Aku butuh sendiri untuk berfikir. Aku mencintaimu. Kita akan hidup bahagia. Jika kau masih marah dan tak sudi mengangkat telfonku. Setidaknya balaslah smsku. Ardimu."

  



Yogyakarta, 9 Desember 2014
Ela Sri Handayaningsih.

***

NB: Ini hanyalah kisah fiksi. Tak sempat terfikirkan olehku untuk membenarkan semua usaha bunuh diri. Bunuh diri adalah pilihan terburuk dan pikiran terdangkal manusia. Benar sekali, Teman. Manusia yang memilih untuk bunuh diri, itu berarti dia sudah tak lagi 'sempat' untuk menyelami pilihan lain. Karena memang hanya segitu kemampuannya, masalah dan kondisi mereka membuat pilihan hidup mereka tak sedalam manusia lain. Tapi, apapun dan bagaimanapun masalahnya, jangan sampai bisikan setan mengalahkan nurani kita. Jangan sempatkan hati kita untuk menghujat mereka yang bunuh diri, cukup kuatkan batin kalian agar tidak memilih jalan pintas tersebut. Mungkin, aku memang bukan manusia yang baik dan punya hak untuk menasihati. Tapi, kali ini aku sungguh-sungguh. Selalulah berpikiran positif akan rencana Tuhan, seberat apapun masalah kalian. Dalam keadaan apapun, percayalah Tuhan Maha Penyayang. Dia Maha Pemaaf. Apapun hasil dari hidupmu, bertaubat dan berjuanglah untuk tidak melakukan salah yang sama. Sesekali jangan dengarkan penilaian buruk orang, tapi, dengarkanlah masukan positif dari teman-teman. Ingat semua indahnya hidup saat fikiran untuk mengakhirinya terlintas.

Dan buat kalian, ehmm semoga kalian tidak sempat berfikiran buruk terhadap semua korban bunuh diri. Bisa jadi, mereka yang bunuh diri, dulunya sempat berkata 'Ya Tuhan, kok ya secetek itu ya pikirannya. Sampai bunuh diri segala.' Bisa jadi, iya. Bisa jadi, tidak.
Jika kalian miris melihat banyaknya korban bunuh diri. Semoga, kalian juga berjuang untuk membahagiakan diri sendiri tanpa menanggalkan kebahagiaan orang-orang disekitar kalian.

Dan yang terakhir, semua pesan ini tidak hanya untuk kalian. Tapi, juga untukku. Semoga kita semua selalu dalam lindungan ALLAH. Semoga kesabaran, keikhlasan dan kekuatan selalu mengiringi langkah kita sampai kelak ajal datang dengan sendirinya. 


Salam Super Seiya, Gaeys.
Jangan lupa sarapan, biar kalian bahagia.
Lupiyuuuww bertubi-tubi ƪ(‾ε‾)ʃ 

0 komentar:

Posting Komentar