Deretan
mata telah siaga.
Puluhan
kepal tangan mulai mengamuk, buas.
Mulut-mulut
diam, bersiap demi mengumpat.
Hati
terperkosa logika, logika memperawani rasa.
Demi
manusia yang mereka sebut Pemimpin.
Rakyat
beradu dengan rakyat.
Palu
hakim terketok sudah.
Keputusan
sah adanya.
Lelaki
itu pemimpin kita.
Lalu?
Haruskah
kerabat menjadi terlaknat?
Haruskah
sahabat menjadi keramat?
Demi
memuaskan ego, amisnya darah mengalir indah.
Pilu.
Beberapa
berteriak tak terima.
Beberapa
yang lain terbahak bahagia.
Beginilah
ulah demokrasi yang menikahi para demonstrator.
Merengek
parah, mendengus haus, menggeliat tak tentu arah.
Indonesiaku.
Nusantaraku.
Bangsa
Merah Putih nan dimuliakan rakyatnya.
Janganlah
kau tersungkur tak berdaya.
Karena
fakta kini berwujud nyata.
Pemimpin
dipilih untuk memimpin.
Rakyat
memilih untuk dipimpin.
Pemimpin
tanpa rakyat : lenyap.
Rakyat
tanpa pemimpin : kocar-kacir.
Bersatulah,
Garuda Pancasila.
Yogyakarta,
23 Agustus 2014
Ela
Sri H