Tanpa
rasa, tanpa asa.
Kau
datang bagai petaka.
Menggores
luka, membakar bara.
Hai
kau, penghianat tak selalu terlaknat.
Namun,
terbiasa menghianat sepantasnya dilaknat.
Bukan
kamu berdosa, hanya harapku tlah binasa.
Bukan
kamu bersalah, hanya lakumu yang tak terarah.
Dengar
wahai kau, Putra.
Kau
benar mempesona, namun hatiku tak lagi tergoda.
Kau
benar memikat, namun rinduku tak patut kau ikat.
Kata
demi kata ini bukanlah sajak.
Hanya
rangkaian kalimat tak terucap.
Kenangan
itu tak lagi pantas berharap.
Hanya
tak patut untuk terus terungkap.
Kau
Putra, lelaki muda yang haus akan bius dunia.
Ingat
Putra, kau berjanji mengubur kebiasaan lama.
Kau
benar, Putra.
Akulah
wanita penggila hadirmu yang terdampar pada bulir air mata di pelupuk mata.
Kau
benar, Putra.
Akulah
puan yang mengharap janji masa depan bahagia ada pada kita.
Sayang
disayang, Putra.
Semua
harap tenggelam bersama sang mega.
Semua
bahagia luruh bersama alir sang air mata.
Semua
ingin kini sempurna hancur.
Lebur
bagai debu sang kemarau.
Baca
dan dengar bisik dedaunan pagi ini, Putra.
Aku
sampaikan surat dalam kata tak terucap.
Dariku,
puan dengan hati terbalut.
Luka
darimu kini mulai kembali pulih.
Jangan
lagi sakiti.
Jangan
lagi dekati.
Jangan
kau gores.
Jangan
kau toreh.
Berkawanlah,
tanpa mencipta lawan.
Yogyakarta, 7 September 2014
Ela Sri H
keren kakak kata-katanya :)
BalasHapusTerimakasih Putri, kebetulan aja nemu kata bagus di kepala hhe
BalasHapusKita kan seumuran, panggil Ela aja :)