Yogyakarta, 10
September 2014
Kawanku
itu masih asik menatap layar leptopnya, selalu begitu. Entah apa yang sedang
merkeliaran dalam fikirannya, sulit bagiku menerawang angannya. Yang jelas, dia
ingin segera menyelesaikan revisinya dan menjalankan adat yudisium sebagai
tanda bahwa dia telah menjadi sarjana.
Adakah fikiran lain?
Tentu. Tapi, aku
tak tahu dan memang aku bukan Tuhan yang Maha Tahu hati dan fikiran manusia.
Barusan
dia menghela nafas? atau aku salah dengar?
Leptop
dan seperangkat skripsi siap masuk ke dalam tas. Ada semangat yang cukup hangat
untuk langkahku menjumpai kampus pagi ini. Aku ingin segera menuntaskan
tanggungjawabku. Aku sama seperti anak-anak lain, ingin rasanya aku menjadi
anak yang mampu membanggakan kedua orang tua serta keluargaku. Orang tuaku juga
pastinya sama dengan orang tua mahasiswa-mahasiswa lain, ingin melihat anaknya
menjadi sarjana.
“Eh
Mbro, Mbak Na beneran udah sampai Bab 5?” Tanyaku.
Dia
masih asik dengan leptopnya.
“Tidak
tahu, Mak. Kata Tante, Mbak Na tanya tentang saran. Mungkin, Tante yang
menyimpulkan sendiri kalau Mbak Na sudah selesai.”
Aku
menge’hehe’ lirih.
“Baguslah
kalau sudah sampai Bab 5.”Kataku.
Temanku
masih saja melihat layar leptopnya. Serius sekali. Aku kembali menyiapkan
berkas untukku bawa ke kampus.
“Mak,
kamu mau makan di burjo?” Kawanku bertanya.
Sejenak
aku diam, berfikir.
“Boleh.
Ayo.” Kataku.
Sesekali
aku mengaduh, mengeluhkan nyeri yang masih saja betah bersarang pada perutku.
“Mak…”
Dia
kembali memanggilku, masih menatap leptop. Mengoreksi pekerjaan temanku, hanya
membantu. Dia bukan penjual skripsi ataupun membuka jasa penyelesaian skripsi.
Dia hanya membantu. Karena kami adalah teman, dan sudah sewajarnya teman saling membantu.
Begitu teorinya. Kenyataan kadang berbeda jauh dari teori. Tapi, aku berani bertaruh, manusia seperti temanku ini sangat
langka. Tuhan Maha Asik, Dia mengijinkan aku untuk mengenalnya ‘cukup’ dekat.
“Iya
mbro.”
Aku
diam, tanganku masih mengelus perutku. Berharap nyeri itu sedikit berkurang,
meski sebenarnya, aku mulai terbiasa dengan keberadaanya.
“Orang
memang suka seenaknya ya Mak. Nyuruh cepet-cepet nylesein skripsi, bla bla bla.
Maksudku, mereka itu gak paham atau sengaja tidak memahamkan diri kalau setiap
manusia itu memiliki kemampuan berbeda. Kondisi masing-masing orang itu
berbeda. Kemampuan otak masing-masing orang juga tak sama.” Katanya, masih
menatap layar leptop.
Kali
ini aku jelas mendengar dia menarik nafas agak panjang.
Aku
tersenyum. Ingin rasanya aku memeluk temanku ini. Tapi, itu hanya inginku saja.
Dia pasti akan menjerit dan menamparku dengan keras saat aku benar-benar
memeluknya.
“Tapi,
niatnya kan baik Mbro. Hehe” Aku mencoba menenangkan sesuatu yang bahkan aku
tak tahu apakah sesuatu itu sedang dalam keadaan bimbang, gelisah atau justru
baik-baik saja. Sudah ku bilang bukan, temanku satu ini sulit sekali ditebak.
Yang aku tahu, dia baik, sangat.
_____
Lelah,
pasti. Tapi, bukankah wajar jika manusia yang jantungnya masih berdetak
merasakan lelah?
Mengeluh,
sesekali. Tak baik memang, tapi, mengucap kata ‘aduh’ saja sudah berupa
keluhan. Sepertinya, banyak manusia yang reflek mengeluh ketika capek dan sakit
menyapa mereka.
Bagaimana
dengan mereka yang selalu terlihat ceria?
Atau,
bagaimana dengan mereka yang pendiam?
Lalu,
bagaimana dengan mereka yang suka mengais-ngais bahagia di dunia malam?
Saya
tak tahu. Terkadang, air mata yang mengalir tak selamanya bentuk pemberontakan
atau rasa kurang bersyukur bukan? Tak jarang tawa yang manusia nilai sebagai
kebahagiaan justru merupakan bentuk penolakan akan apa yang terjadi pada
manusia tersebut.
Jujur,
saya adalah manusia berjenis kelamin perempuan yang sulit untuk mengontrol
lisan. Terkadang, ada malu yang sesekali mencubit genit kala banyolan konyol saya
justru membuat orang-orang merasa jijik pada saya. Padahal, harapan saya, mereka bisa
tertawa. Minimal, sejenak menikmati bahwa dunia itu indah saat kita
bahagia. Sayangnya, saya adalah salah satu manusia yang sama seperti ucapan
teman saya tadi. Sering lupa bahwa setiap manusia memiliki sikap, pemikiran dan
karakter yang berbeda-beda.
Seharusnya
saya bisa bersikap lebih berwibawa ketika mengobrol dengan manusia-manusia yang
berfikiran kritis. Bukan demi memunafikan diri, hanya saja, saya harus sedikit
menghormati karakter mereka. Membuat mereka sedikit lega dan tidak salah memilih
teman mengobrol. Walaupun, lagi-lagi, saya harus sedikit menjauhkan ‘diri saya’
dari ‘diri saya’ sendiri. Paham bukan?
Sebenarnya,
bukan saya harus menjadi mereka. Hanya saja, mencoba menghormati keragaman dan
mencoba mengerti semampu saya.
Namun,
faktanya adalah saya manusia biasa yang tak selamanya mampu mengerti. 'Banyak'
kali ego membuat saya ingin dimengerti. Meski, terkadang, rasa ingin dimengerti
itu datang di saat yang kurang tepat. Ya. Rasa itu datang bersamaan dengan
manusia lain di sekitar saya yang juga sedang ingin dimengerti.
Semoga,
waktu setelah detik ini, saya, Ela Sri Handayaningsih mampu menjadi sosok
manusia yang lebih baik lagi dalam bersikap dan bertindak. Jauh lebih dewasa
dalam fikiran maupun perbuatan.
_____
Jadi,
lebih baik sekarang kita makan. Karena makan akan mempengaruhi tingkat
kekenyangan manusia.
Selamat
malam.
Salam
manis dari Nona Manis.
Ela
Sri H
semangat buat skripsinya ya kaka...nasib kita sama kok :D
BalasHapusHahahaha semangat banget meskipun Dosbing cuti 40 hari buat haji T.T
BalasHapus